Nah kalau toh bisa diambil langkah kebijakan pemberian hibah antara pemerintah Kabupaten Banggai dengan instansi vertikal atau pusat (mengambil contoh ex Kantor KORPI tersebut), pertanyaannya mengapa tidak dilakukan kebijakan yang sama (hibah anggaran) dari Pemkab Banggai kepada Pemprov Sulteng untuk mengatasi kekurangan dana perbaikan jalan diwilayah “Kepala Burung” itu? Oleh karena selama lebih kurang tiga dekade atau 30 tahun Pemrov Sulteng membiarkan terbengkalai rusak parah ruas jalan diwilayah “Kepala Burung”, karena alasan ketiadaan anggaran.
Padahal jika setiap tahun anggaran Pemkab Banggai mengalokasikan dana hibah kepada Pemprov Sulteng untuk membiayai perbaikan ruas jalan tersebut (misalnya 5 miliar setiap tahun dari 2 triliun lebih APBD Kab. Banggai), maka warga masyarakat diwilayah Kec. Bualemo, Kec. Balantak Utara, Kec. Balantak Selatan, Kec. Mantoh, Kec. Lamala, dan Kec. Masama rasa-rasanya tidak perlu merasa tersiksa lahir dan batin. Terguncang. Terpelanting. Jatuh. Diatas jalan bak kubangan kerbau dan tempat beternak ikan lele itu. Tapi itulah fakta yang kita hadapi selama ini. Kebijakan pembangunan dikriminatif !
Tong Kosong Berbunyi Nyaring
Lalu apa saja yang sudah dikerjakan oleh Bupati Amirudin selama dua tahun belakangan?. “Oh, banyak !”. Jawab para pendukung fanatik. Antara lain menjaga roda organisasi birokrasi Pemkab Banggai tetap berputar lancar. Dengan begitu maka gaji dan tunjangan sekitar 10 ribu aparaturnya, mulai dari pejabat eselon dua, tiga, dan empat, dan para stafnya, membayar gaji dan tunjangan profesi guru, gaji dan tunjangan tenaga medis dan keperawatan, dll, serta membayarkan biaya operasional kantor dan perjalanan dinas, juga untuk membayar gaji serta tunjangan pimpinan dan anggota dewan, juga hibah untuk si ini dan si itu, serta biaya untuk pengadaan barang dan jasa a,b,c dll, yang mana total keseluruhannya bisa menghabiskan anggaran sekitar 1.500 miliar dari sebesar 2 (dua) ribu miliar atau dua triliun lebih APBD Kabupaten Banggai setiap tahun.
“Ngana kira gampang mengurus itu semua?”. Hehe..! “Tapi yang menikmati uang sebanyak itu kan cuma pegawai negeri dan para pejabatnya saja?”, tanya wong cilik. “Oh, kalu untuk rakyat gampang, kan sudah sering dikasih sembako gratis kan?”, kata si pembela. “Wah, kalu yang begitu-begitu, dimana-mana juga ada, apalagi somo datang musim pemilu dan pilkada, itu bansos pasti banyak ta hambur ke desa-desa. Cuma maksud saya program untuk pemberdayaan masyarakat miskin itu mana?,” tanya wong cilik lagi. Bernada protes.
“Ah, masa ngana belum tau, itu program satu juta satu pekarangan kan sudah berjalan di desa-desa. Beee.., nga ini kurang gaul mangkali eh..!”, timpal si pembela, sambil menerangkan, bahwa program pro rakyat kecil yang muncul dari ide brilian Bupati Amirudin, yaitu pemberian cuma-cuma bibit rica, bibit tomat, dan bibit ayam potong (yang termasuk dalam program bermerek satu juta satu pekarangan) itu telah berhasil meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi keluarga para petani. Program hebat itu, katanya mengigau, sudah terkenal sampai ke manca negara.
Bahkan, katanya lagi, program tersebut telah dilaporkan oleh Bupati Amirudin dalam sidang di Maskas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu (sambil menunjukkan foto-foto selfi jagoannya itu berfose di Markas PBB yang tersebar luas di medsos), karena program andalannya itu (konon) telah berhasil menurunkan angka penderita stunting alias anak kerdil akibat gizi buruk di Kabupaten Banggai. “Waw, hebat dong, tapi apa betul begitu ya?”, tanya wong cilik didalam hatinya, Menduga-duga.
Begitulah kira-kira gambaran dialog imaginer warga miskin di kampung-kampung yang terekam didalam batin saya. Sambil duduk termenung ditepi bibir pantai Teluk Lalong, saya melempar pandang ke arah gedung DPRD yang berdiri congkak. “Kira-kira pokir apa lagi ya yang sedang diperbincangkan didalam gedung itu?”, tanya saya kepada gerombolan ikan sembilan yang tiba-tiba melintas didepan mata saya.
Tiba-tiba lagi terlitas didalam benak fikiran saya janji Bupati Amirudin yang akan memasukkan dana investasi sebesar Rp. 65 triliun untuk menyulap wilayah “Kepala Burung” menjadi kawasan industri mirip di Pulau Batam, (baca, Media online BANGGAI RAYA, 21 Desember 2021). Padahal, saya sudah membayangkan akan pulang ke kampung kelahiranku itu untuk membuka usaha kontraktor kecil-kecilan. Walau sekadar pemasok bahan baku pasir yang cukup berlimpah di desaku. Sebagai bahan baku pembangunan industri bernilai enam puluh lima triliun tersebut. Tapi tiba-tiba pula saya dikagetkan dari lamunan, setelah mendengar bunyi-bunyian. Ah, ternyata tong kosong itu memang berbunyi nyaring.* (bersambung)
Penulis adalah advokat, dan Ketua DPC Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kab. Banggai.
Discussion about this post