Oleh: Aswan Ali, S.H
Ngobrol Program Satu Juta Satu Pekarangan
DALAM kesempatan libur Idul Adha 1444 H/2023 M, tanggal 29 Juni kemarin saya menyempatkan bersilaturahmi dengan keluarga kerabat almarhum mertua saya di Desa Bantayan, Kecamatan Luwuk Timur. Seperti biasanya, ketika keluarga kami datang berkunjung ke tempat permukiman warga petani penggarap sawah-ladang tersebut, sontak suasananya menjadi ramai dan menyenangkan. Ya, kami senang dapat berbaur dan berkumpul dengan sesama orang-orang kecil alias wong cilik atau kalangan alit menurut strata sosial dalam sistem kapitalis.
Pun mereka, orang-orang kelas bawah itu tampak merasa senang dan bahagia menyambut kedatangan kami. Tidak terkesan adanya jarak sosial yang memisahkan status antara majikan dan kaum pekerja atau buruh, antara kalangan “the have” dan “the have not”. Dengan persiapan ala kadarnya, kami pun menyembelih hewan qurban untuk dibagikan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Usai sholat magrib kami pun berkumpul kembali memenuhi undangan sohibul bait untuk santap malam bersama sambil berdoa berbagi keberkahan hari raya qurban. Selesai makan saya kemudian mencari tempat duduk agak menepi. Meski sudah sekitar lima belas tahun saya meninggalkan kebiasaan merokok setelah makan, namun disaat-saat berkumpul seperti itu saya selalu menyiapkan sebungkus rokok didalam saku celana. Sebagai modus agar saya bisa lebih akrab membuka perbincangan bersama teman ngobrol yang masih suka merokok.
Namun, tak diduga, teman ngobrol saya ternyata dengan santun menolak tawaran rokok yang saya sodorkan padanya. Katanya, dia juga beberapa tahun belakangan sudah meninggalkan kebiasaan merokok. Dan itu, katanya lagi, sangat membantu dia meningkatkan produktivitas kerja dan kesehatannya. Nah disela-sela pembicaraan kami mengenai pengalaman pribadi berhenti merokok itu, saya kemudian menanyakan informasi tentang program satu juta satu pekarangan yang, katanya, menjadi hak paten dari Bupati Amirudin dan Wabup Furqanuddin Masulili dalam pelaksanaan visi-misi pembangunan bagi peningkatan pendapatan ekonomi keluarga petani. (Padahal, dulu dimasa Bupati Sudarto ada juga program “monsuani tano” dengan tema besarnya “gerakan terobosan pembangunan desa” atau Gerbosbangdesa).
“Mas, beberapa waktu lalu pas Pak Bupati Amirudin datang panen rica, apa Mas ada ikut menyaksikan?”, tanya saya kepada teman ngobrol saya, warga asal Lombok-NTB yang sudah sejak lama mengikuti transmigrasi Banpres di Bantayan I, itu. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya juga menanyakan pada si Mas, apakah dia mengetahui adanya program satu juta satu pekarangan yang diloncing oleh Bupati Amirudin sebagai program terpadu antara empat instansi terkait, yakni Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura Dan Perkebunan (TPHP), Dinas Perikanan, dan Dinas Peternakan.
Memang menurut Mas, ia dan warga masyarakat umumnya mengetahui persis cerita atau isu-isu tentang program satu juta satu pekarangan tersebut. Bahkan, katanya, awalnya para petani di Desa Bantayan begitu antusias menantikan program bantuan satu juta satu pekarangan yang diinisiasi Bupati Amirudin saat kampanye Pilkada tahun 2020 lalu. Dan menurut pemahaman para petani, kata Mas, program tersebut adalah berupa pemberian bantuan uang tunai Rp. 1 (satu) juta untuk membiayai pengolahan setiap pekarangan yang kosong.
Makanya, kata Mas lagi, ada beberapa petani yang tak memiliki lahan telah meminjam lahan kosong milik warga lainnya. Dengan maksud mereka yang menggarap, dan hasilnya akan dibagi dua dengan pemilik lahan. “Saya sendiri sudah meminjam dua lahan kosong milik warga yang tinggal di Luwuk”, katanya. Akan tetapi setelah mendapat penjelasan dari penyuluh pertanian, ungkapnya, uang bantuan biaya pengolahan yang telah ditunggu-tunggu oleh para petani itu ternyata sudah diganti dengan bantuan bibit rica, bibit tomat, dan bibit ayam potong.
“Wah, kalau bibit sebetulnya banyak pak, tidak perlu dibantu, kami juga bisa mengusahakannya sendiri”, kata Mas yang mengaku selama ini khusus berkebun rica dan tomat. Bahkan, katanya, untuk pengadaan bibit ayam potong sudah pernah ada pengusaha yang menawarkan kerjasama. Para petani pengolah cukup menyiapkan kandangnya, sedangkan bibit dan pakannya akan disediakan oleh si pengusaha. Dengan pola kemitraan seperti itu, jelasnya, sebetulnya para petani tidak perlu repot lagi mencari pemasarannya, karena semua hasil ternak ayamnya akan dibayar dan menjadi milik si pengusaha.
Tapi usaha itu tidak berlanjut, karena para petani mitra merasa tidak mendapat keuntungan. Sebab setelah diperhitungkan dengan biaya bibit dan pakan, serta dipotong dengan kematian ternak, para pengolah sepertinya tidak mendapat hasil apa-apa. “Biaya pakannya yang terlalu mahal”, kata Mas yang mengaku mendapatkan kisah itu dari temannya yang pernah mencoba beternak ayam potong dengan pola kemitraan tersebut.
Baca juga: Menyoal Etika dan Moral Pemerintahan Bupati Amirudin (3)
Discussion about this post