Oleh: Supriadi Lawani
TADI siang saya mampir ke rumah Rinto seorang sahabat yang mengundang saya untuk makan siang. Menunya ikan bakar rica dan ikan kuah kuning. Dalam memilih ikan Ka into demikian saya memanggilnya adalah jagonya. Bukan hal yang aneh memang karena selain besar di daerah pesisir Rinto juga adalah ketua kelompok nelayan.
Namun tulisan kali ini bukan tentang Rinto dengan segala pengetahuannya tentang ikan dan laut. Namun masih soal Midun yang sejak awal saya niatkan berseri.
Ketika saya di rumah Rinto, Midun sedang bersiap-siap menuju salah satu hotel berbintang di kota Luwuk bersama Ronald kawan baiknya.
Midun dengan fashion K-Pop nya seakan tergesa-gesa untuk segera memasuki hotel. Dan entah apa di benaknya, namun yang pasti dia tidak sabar lagi untuk melewati malam tahun baru di hotel mewah itu.
Memilih untuk melewatkan tahun baru di hotel berbintang, bukan perkara mudah bagi masyarakat Luwuk yang sedang berjuang melewati inflasi panjang dengan harga-harga kebutuhan pokok yang mahal.
Apalagi anak muda yang resah mencari pekerjaan. Ironis memang daerah kaya sumber daya alam ini, namun banyak anak muda yang tidak bekerja alias pengangguran atau semi penganguran.
Kembali ke Midun. Malam tahu baru bagi Midun adalah soal gaya sebagai anak kota, sebagai selebritis dengan penampilan urban Midun tidak seperti orang kebanyakan yang merayakan tahun baru di pesisir pantai teluk Lalong yang ikonik. Dia mimilih untuk pesta perpisahan tahun baru di hotel berbintang.
Ketika orang kebanyakan bergumul dan berhimpitan dalam kepadatan dengan segala macam aroma di teluk Lalong, Midun dengan santainya nongkrong di bar hotel.
Ketika kebanyakan orang harus menghirup debu jalan dan bau asap knalpot, Midun santai dengan lantunan musik R n B di pesta kembang api hotel berbintang dan ketika orang kebanyakan penat, gerah dan berkeringat dalam cuaca yang sangat lembab. Midun dengan santainya dalam kesejukan AC hotel berbintang.
Midun adalah sosok urban kelas atas yang berbeda dengan orang kebanyakan yang mencari hiburan dan berkumpul di pesisir Teluk Lalong dengan kuliner yang umumnya di goreng, dengan minuman penuh pemanis buatan. Midun menolak menjadi “ngampung”.
“Ngampung” atau “Kampungan” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap kuno, kurang berpendidikan, atau kasar menurut standar sosial tertentu. Ini bisa merujuk pada perilaku, penampilan, atau gaya hidup yang dianggap kurang modern dan tradisional.
Entah kenapa melihat gaya Midun yang urban dan menolak “ngampung” saya teringat sosok politisi yang suka pamer kekayaan dan bergaya urban. Sok paling tahu segala hal dan merasa paling berkuasa ditengah masyarakat kebanyakan yang terhimpit oleh krisis.
Sosok politisi yang merasa bisa membeli suara rakyat miskin dengan segala kepongahannya.
Demikianlah sekali lagi Midun telah menyatakan kepada kita tentang banyak hal, tentang tahun baru, gaya urban dan berjaraknya “sosok – sosok elit” dengan orang kebanyakan yang berdesakan ditengah debu dan asap knalpot.
Namun baik Midun dan politisi “sipaling” tahu itu disatukan oleh harapan yang sama untuk tetap eksis dan itu adalah dukungan massa, ya massa karena massa adalah pemilik kekuasaan yang sejati. *
Penulis adalah petani pisang
Discussion about this post