Dengan memahami dialektika itu, kita menyadari mengapa pimpinan parpol di daerah tak punya kuasa meloloskan kandidat kepala daerah yang dianggap kapabel. Semua ditentukan oleh pimpinan pusat yang dinilai feodal dan oligarchist. Satu-satunya yang dapat diintervensi adalah afirmasi positif untuk komposisi perempuan dalam kepengurusan parpol. Sisanya berjalan seperti biasa, dimana parpol memiliki hak prerogatif internal.
Mendorong perubahan di internal Parpol melalui undang-undang bukanlah perkara mudah. Masalahnya, secara faktual desainer undang-undang adalah kumpulan elit Parpol di Senayan yang secara langsung berkepentingan terhadap urusan internalnya. Kendatipun pemerintah berupaya mendorong reformasi Parpol, namun pemerintah pada dasarnya adalah Parpol pemenang itu sendiri yang juga punya kepentingan yang sama.
Baca juga: Produk _Leadership,_ Mengatasi Defisit Penjabat Kepala Daerah
Dalam konteks ini mungkin lebih tepat kita menggunakan istilah reformasi Partai Politik ketimbang menggunakan istilah desentralisasi politik. Sebab istilah itu sesungguhnya telah menyentuh pada perubahan rezim pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari desentralisasi politik. Sementara diskursus Parpol hanyalah bagian kecil dari isu politik yang maha luas. Reformasi Parpol saya pikir berada pada tiga titik krusial, yaitu idiologi, kaderisasi, dan pendanaan.
Idiologi tak hanya wajib sejalan dengan falsafah Pancasila, juga berkaitan dengan kemampuan Parpol menciptakan perbedaan yang kuat dan jelas seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika. Perjuangan idiologis jauh lebih ideal dibanding perjuangan pragmatis yang berujung transaksional. Ragam artikulasi Parpol hari ini lebih tampak sebagai kumpulan kepentingan yang haus kekuasaan ketimbang representasi pejuang nasionalisme, sosialisme maupun religiusme seperti politik aliran dimasa lalu.
Pada bagian kaderisasi, Parpol gagal melakukan rekrutmen terbaik sehingga _political marketing_ nya sarat dengan kader yang penuh masalah hingga berakhir di jeruji besi sebagai koruptor. Setidaknya itu dikonfirmasi pada beberapa survei yang menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap popularitas Parpol dan DPR. Kemungkinan lain, perubahan mekanisme pemilihan legislatif (terbuka) dan pemilihan kepala daerah (langsung) telah berkontribusi terhadap hilangnya kewenangan Parpol. Parpol tak lebih sebagai _event organizer_ semata.
Akhirnya, masalah pelik dan klasik dalam agenda reformasi parpol berkaitan erat dengan pendanaan Parpol. Tanpa pendanaan yang cukup, Parpol hanya akan menjadi bancakan kaum oligarchi. Parpol hanya instrumen untuk menyedot sumber daya di daerah maupun pusat. Caranya tentu lewat kadernya yang duduk di posisi empuk dari pusat sampai daerah. Dengan menata keuangan Parpol, apakah lewat subsidi pemerintah maupun sumbangan masyarakat secara transparan setidaknya kita dapat mengurangi upaya Parpol menghalalkan segala cara dalam membesarkan Parpol itu sendiri. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post