Di Kupang MS, Di Boalemo TMS
Dalam risalah DKPP No. 125-126-132-145/DKPP-PKE-V/2016 terungkap fakta bahwa pada Pilkada Serentak 2017, Walikota Kupang – Jonas Saelan (Petahana) terbukti melakukan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) karena melakukan penggantian pejabat tanpa persetujuan Menteri (1 Juli 2016). Lalu, karena Bawaslu RI mengeluarkan Surat Edaran No. 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 (20 Oktober 2016), sehingga menjadi rujukan bagi Walikota Petahana dalam menetapkan keputusan pembatalan terhadap keputusan sebelumnya (21 Oktober 2016). Atas dasar SE Bawaslu RI tersebut, Bawaslu NTT dan Bawaslu Kota Kupang, serta KPU Kota Kupang menilai bahwa Bupati Petahana tidak lagi melanggar Pasal 71 ayat (2). Akhirnya KPU Kota Kupang menetapkan Bupati Petahana MS sebagai calon (Keputusan KPU Kota Kupang Nomor 44/Kpts/KPU-Kota.018.434078/2016).
Namun demikian, Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, ahli Hukum Administrasi terkenal di Indonesia, bahkan dikenal luas oleh pakar Hukum Administrasi di Belanda – yang dihadirkan sebagai ahli dalam sidang DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh janggota Bawaslu RI priode 2012-2017, anggota Bawaslu NTT, anggota Bawaslu Kota Kupang, dan anggota KPU Kota Kupang, mengatakan bahwa pembatalan keputusan mutasi yang dilakukan oleh Walikota Kupang (Petahana) pada tanggal 21 Oktober 2016 adalah termasuk perbuatan penggantian pejabat atau mutasi. Selain itu, Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, juga mengatakan bahwa Surat Edaran (SE) Bawaslu RI No. 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 bukan merupakan peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum (Simak: Risalah Putusan DKPP No. 125-126-132-145/DKPP-PKE-V/2016).
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Boalema pada Pilkada Serentak 2017. Dalam risalah putusan MA No. No.570 K /TUN/PILKADA/2016 (4 Januari 2017) terkait dengan kasus penggantian pejabat yang dilakukan oleh Bupati Petahana Kabupaten Boalemo (H. Rum Pagau) tanpa persetujuan tertulis dari Menteri. Pada pertimbangan hukum putusan MA di atas, Majelis Hakim MA menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (2) yang sanksinya telah ditentukan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. Bagitu tindakan dilakukan maka konsekuasinya lahir dan berakibat hukum. Walaupun dicabut kembali, akibat hukumnya telah ada dalam rentang waktu tertentu. Karena itu pelanggaran sudah terjadi dan tidak hapus karena dicabut. Lebih dari itu, Majelis Hakim MA juga menyatakan bahwa Putusan Hakim Judex Factie PT-TUN Makassar tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Dari putusan MA tersebut terbaca kesan bahwa MA mengabaikan SE Bawaslu RI 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016.
Mengingat karena Bupati Petahana (H. Rum Pagau) terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada, maka Majelis Hakim MA membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016 terkait Penetapan Paslon Pilkada 2017 (Simak: Putusan MA No. 570 K /TUN/PILKADA/2016). Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 2017. Pada hal Paslon tersebut diusung oleh gabungan 9 (sembilan) Parpol (Simak: Putusan MA Nomor 02 P/PAP/2017 terkait Penolakan Sengketa yang diajukan oleh Rum Pagau – Lahmudin Hambali).
Discussion about this post