Sebuah renungan, mengapa Presiden memberikan sinyal kuat untuk revisi UU Pemilu terkait rotasi kekuasaan? Publik pun akhirnya berspekulasi bahwa keinginannya tak lepas dari kepentingan taktis politik dinasti. Gibran dan Boby Nasution – masing sebagai walikota Solo dan Medan – sengaja dijaga posisi politiknya. Hal ini dirancang sebagai upaya memperkokoh reputasi politiknya, sehingga – dalam jangka menengahnya – punya daya dan legitimasi untuk melangkah ke pilkada DKI Jakarta. Dalam kerangka ini pula, diperlukan sett up politik perlindungan dan pengamanan. Di sanalah kita saksikan gelagat politik mengapa muncul wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Ketiga, panorama zig zag yang tiba-tiba memunculkan wacana masa jabatan presiden diperpanjang itu perlu kita catat sebagai tindakan yang menabrak konstitusi (Pasal 7 UUD 1945 pasca amandemen) yang hanya menentukan maksimal dua periode. Karena benturan konstitusi itu pula, kini muncul gerakan “bawah tanah” untuk mengubah Pasal 7 tersebut. Arenanya adalah mendorong MPR untuk melakukan amandemen kelima, yang kini sedang bersemangat untuk menghidupkan GBHN model baru, yakni Pokok-pokok Haluan Negara. Namun, di balik agenda ini “diboncengi” atau “ditunggangi” misi besar untuk membuka “kotak pandora” Pasal 37 UUD 1945, yang tampaknya sedang merancang untuk melicinkan proses pengubahan Pasal 7 itu.
Melalui berbagai forum formal dan informal, Jokowi memang tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan itu. Tapi, publik sulit mempercayainya. Karena, ketika melontarkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden, dia menunggu respon publik. Test cast atau politik “tik-tok” itu bagian dari strategi untuk melihat reaksi. Yang perlu kita catat, body lengguage Presiden tak bisa disamakan dengan pernyataan formal dan informal.
Dan mengacu pada proses politik sebelum 2014, Jokowi – saat menjabat Gubernur DKI Jakarta – pun menegaskan sikap politiknya bahwa dirinya tidak mikir masalah posisi kepresidenan. Dirinya mau fokus ke penataan Jakarta. Fakta bicara lain. Di tengah jalan – sebelum habis masa baktinya untuk melayani Jakarta – beliau kepencut menerima tawaran untuk memimpin Indonesia. Karena itu, pernyataan formal dan informal Jokowi yang menolak perpanjangan masa jabatan presiden tidak bisa dijadikan acuan. Sebab, secara empirik, gelora hatinya – secara substantif – sejalan dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu. Dan wacana itu pun berkembang bukan wacana liar yang dikemas oleh publik, tapi tak lepas dari “restu” bahkan “order” khusus.
Perlu kita review bagaimana reaksi rakyat? Terjadi pro-kontra. Sementara, benturan konstitusional itu bukanlah hal berat untuk dilakukan amandemen terkait Pasal 7 UUD 1945. Dengan politik uang yang relatif tak terbatas, apalagi siap digelontorkan nilai trilunan rupiah, semua kemungkinan bisa terjadi di arena MPR. Dan perubahan masa jabatan presiden sesuatu yang sangat niscaya.
Introspeksi
Siapapun berhak memperjuangkan ambisinya. Tapi, yang menjadi problem mendasar adalah bagaimana kinerja pemerintahan selama ini. Satu periode lalu pun sudah menunjukkan kinerja yang tak sesuai harapan publik. Enam-puluh enam janji politiknya untuk periode 2014 – 2019 hanyalah janji. Dalam periode kedua – sejalan dengan pandemi covid-19 – kian bermasalah kinerjanya. Dari sisi ekonomi mengalami drop (pertumbuhan minus), jauh di bawah 0%. Bahkan, dari sisi ekonomi, negara semakin diperhadapkan lonjakan utang luar negeri yang – menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin mengkhawatirkan. Dari sisi penanganan sosial juga penuh problem, bahkan terjadi penyelewengan (korupsi bantuan sosial) yang bernilai trilyunan. Bukan hanya tak sesuai harapan rakyat dalam penanganan pandemi covid-19, tapi justru sejumlah kebijakannya seperti PSBB dan PPKM semakin memperpuruk kepentingan sosial dan ekonomi. Rakyat juga saksikan inkonsistensi kebijakan yang memperpanjang masa pemberlakuan PPKM, meski dengan istilah beda (level 4 sampai 1).
Ironisnya, di tengah pemberlakuan kebijakan PSBB dan atau PPKM dimana rakyat harus tunduk untuk menjaga jarak dengan cara menghindari arena kerumunan, tapi ada beberapa kali Presiden sendiri membiarkan kerumunan, bahkan – secara langsung – melakukan kerumunan. Pembiaran kerumunan terjadi, terutama terkait perhelatan pilkada daerah pada tahun 2020.
Manakala Gibran dan Boby Nasution harus melakukan mobilisasi massa untuk kepentingan politik praktisnya, Pemerintah – dari Presiden hingga aparat keamanan dan KPU – membiarkannya. Sementara, ketika kontestan lain melakukan hal serupa langsung ditegur. Bahkan, untuk hal lain yang sama sekali tak terkait dengan masalah rivalitas kontestasi politik – katakanlah kerumunan yang dilakukan Habib Rizieq Shihab (HRS) – justru mendapat perlakuan beda. Ada tindakan hukum yang super tegas, tapi penuh dengan makna diskriminatif.
Sementara itu, atas nama kemanusiaan, Presiden harus mengunjungi korban bencana alam di Adonara dan Lembaga – Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Jum`at, 9 April 2021. Kehadirannya menimbulkan kerumunan massa yang tidak sedikit. Jika Jokowi committed (menolak kerumuman), pasti dilakukan penyekatan kerumunan publik. Tapi, itu tidak dilakukan. Terbukti aparat keamanan dan pemerintah lokal setempat membiarkan responsi publik yang berusaha mendekati Presiden dalam jumlah tak sedikit. Inilah potret kerumunan yang dibiarkan.
Serupa tapi tak sama, Jokowi juga membiarkan kerumunan – kalau tidak dibilang menciptakan – saat membagi sembako di wilayah Grogol – Jakarta, 11 Agustus kemarin. Para colon penerima sembako rela berantrian panjang dan itu jelas-jelas kerumunan. Sungguh disesalkan adegan ini. Sebab – di satu sisi – pemerintah sendiri selaku Presiden, dan di sisi lain, Pemerintah DKI – sedang berupaya maksimal untuk menegakkan disiplin jaga jarak, justru Jokowi sendiri merusaknya. Dalam hal ini – secara langsung atau tidak – Jokowi menunjukkan perilaku kekuasaannya yang inkonsten dengan kebijakan yang dibuatnya sendiri. Inilah zig zag keempat dalam bentuk perilaku kekuasaan atau kebijakan yang suka-suka, seeneknya sendiri, tanpa menghormati Pemerintah DKI Jakarta yang berusaha maksimal untuk menurunkan dampak covid-19 melalui program jaka jarak. Juga, bisa dinilai tidak menghormati hak-hak individu dari ancaman keterpaparan covid-19 akibat berkerumun yang tepancing karena program berbagi sembako itu.
Akhir kata, keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai, di negeri yang konon telah merdeka ini, tapi rakyat sesungguhnya belum merasakan kemerdekaan itu. Hakekat kemerdekaan – jika kita cermati perilaku kekuasaan saat ini – hanya dinikmati sang presiden dan jajaran inner circlenya yang kebal hukum dan mendapatkan keistimewaan. Maka, tidaklah berlebihan jika di antara elemen rakyat ini menyatakan, “Presiden itulah yang kini benar-benar merdeka. Paling menikmati kemerdekaan, bukan rakyat”. *
Jakarta, 16 Agustus 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post