Sebenarnya, penempatan penjabat sipil atau non sipil dalam sejarah bangsa ini bukan hal baru. Keduanya kompatibel dengan posisi yang tersedia. Apalagi praktek selama ini telah berjalan dengan tekanan pada wilayah berpotensi _chaos_ (bagi pemimpin non sipil). Satu-satunya alasan kesumat adalah menghindari berulangnya praktek dwifungsi militer dimasa Orde Baru. Sisanya lebih pada pertimbangan ketersediaan stok penjabat, kompetensi, serta isu instabilitas keamanan.
Pada sisi lain, membuka gerbang seluas-luasnya bagi penjabat kepala daerah non sipil menunjukkan kegagalan sipil dalam mengkonsolidasikan demokrasi pasca runtuhnya orde baru. Sumber basis yang tersedia tak efektif melahirkan pemimpin yang kapabel. Parpol yang sejogjanya melahirkan pemimpin ideal macet hingga bergantung pada kaum populis, mantan birokrat sipil-militer, serta kaum profesional untuk menutup defisit sumber daya kepemimpinan. Faktanya, Parpol tak lebih dari sekedar _event organizer_ bagi kandidat di luar proses kaderisasi.
Sementara ormas cenderung tak banyak melahirkan stok pemimpin kecuali pemanis dan pendamping kepala daerah dan kepala negara dalam masa tertentu. Dalam situasi semacam itu kita tak punya banyak pilihan kecuali melakukan substitusi untuk memperoleh calon _primus interpares._ Mengatasi kelangkaan kepemimpinan dimaksud, lagi-lagi kembali ke calon birokrat sipil yang setidaknya berpengalaman dalam tata kelola pemerintahan, serta teruji sebagai Pamong dalam melayani masyarakat.
Dengan argumen itu, dan tanpa berusaha mengasapi sikon yang ada seakan penuh dengan marabahaya, stok dan kompetensi kepemimpinan sipil di daerah dan pusat tak perlu dicemaskan, apalagi sampai _underistimate._ Cukup diseleksi di tingkat provinsi untuk penjabat di kabupaten/kota, serta penjabat pusat untuk level provinsi. Jika dipandang krusial karena durasi yang panjang sebagai penjabat, tak ada salahnya DPR dan DPRD dimintai masukan sebelum ditetapkan dari sejumlah calon yang dinilai kompeten. Dengan semua catatan itu, kita percaya para kader sipil memiliki kompetensi manajerial, teknis dan _socio-cultural_ sebagai modal menjadi penjabat kepala daerah. *
Baca juga: Urgensi Etika Jabatan
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post