Sebagian besar kita jelas telah memenangkan pemurnian raga. Setidaknya itu kemenangan yang tak terlampau memalukan. Satu proses puasa yang tidak hanya berhasil menurunkan berat badan, juga mensterilisasi sampah dalam tubuh. Peraih nobel Yoshinori Ohsumi pada 2016 membuktikan secara saintifik bahwa puasa dalam durasi 8-16 jam akan mendorong kerja athopagy, semacam protein khusus yang berfungsi sebagai cleaning service. Tak dapat disangkal pemurnian raga telah berhasil.
Dalam karya besar Imam Gazhali, Ihya Ulumuddin (597 H), Ia membagi kaum shoimin dan shoimat dalam tiga kategori utama; awam, khusus, dan khusus fil khusus. Kategori terakhir menurutnya adalah kelompok yang berupaya melakukan pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs). Ini memang bukan perkara gampang di tengah banjir informasi yang mendorong ghirah untuk menilai. Sadar atau tidak jemari kita dipandu oleh pikiran untuk tetap melakukan respon.
Tentu saja ada banyak cara mengurangi hasrat kuat untuk menilai. Kita dapat memilah hal paling urgen untuk menilai, kita hanya menilai dengan bijak jika dimintai, atau kita tak perlu menilai dengan mengubah posisi menjadi penonton. Sebagai penonton kita dapat menikmati limpahan informasi serta pertengkaran pikiran yang membuahkan pengetahuan baru. Menjadi penonton yang baik mungkin akan membantu kita menetralisir dorongan yang ingin menyeruak ke tengah lalu-lintas padat informasi.
Mengurangi tindakan menilai akan membentuk sikap bijak dalam bermedia sosial. Membatasi menilai dapat memberi peluang untuk mengisi jiwa dengan hembusan spiritualitas yang tersedia selama Ramadhan. Membaca lintasan pengetahuan dan mengambil manfaat dari perdebatan mungkin akan memberi kita pelajaran wisdom yang jika dipelihara dapat mengubah karakter manusia jadi ideal. Ini salah satu output dari hasil pemurnian puasa, menjadi orang-orang yang bertaqwa (QS. Al Baqaroh, 183). *
Discussion about this post