Ajaran Islam sangat mempengaruhi pembentukan karakter masyarakat Lipuadino yang kemudian membentuk asimilasi kebudayaan baru dengan tidak meninggalkan nilai-nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya di dalam membentuk kader-kader pemimpin di wilayah Banggai menggunakan istilah-istilah lokal di antaranya miantuu (orang yang benar), gelar Adi (Adiadino/yang utama).
Ajaran-ajaran sang Lipuadino ini berpencar sampai di dataran pulau Sulawesi termasuk Tompotika dan sekitarnya, Wadeng (Gorontalo) serta pulau-pulau di kawasan timur dan tenggara pulau Sulawesi, sehingga dapat dikatakan pada kala itu Lipuadino Lolantang menjadi pusat peradaban di wilayah timur nusantara .
Pada kurun abad ke-12 bermunculan kerajaan-kerajaan kecil di kepulauan Banggai dan Peling begitu juga di kawasan Tompotika. Pada kurun waktu ini di Tano Bolukan (Pulau Banggai) telah membentuk persekutuan beberapa kerajaan kecil yang dikemudian hari di kenal dengan kerajaan Banggai.
Terminologi banggai dikenal sejak adanya komunitas yang menyatu di suatu pulau (Tanobolukon). Yang dalam bahasa Aki Babanggai artinya yang mengalah. Kemudian pulau ini pun berubah menjadi pulau Banggai atau Togong Tokilong (pulau yang mengikut) yang mana membedakan dengan peling barat yang di diami oleh komunitas awal di sebut Togong Tokolong (yang tidak mengikut / bertahan).
Pada periode akhir abad ke-12 sampai awal dekade abad ke -16 empat kerajaan besar di pulau Jawa mempengaruhi dan menguasai pulau ini dengan sendiri nya pulau ini dipastikan takluk di bawah pengaruh mereka. Tetapi sebelumnya para Puadino telah lebih dulu meletakan dasar-dasar ajaran agama Islam sebagai pondasi dasar komunitas baru ini. Kerajaan-kerajaan jawa yang menguasai Tanobolukan adalah Kediri, Tumapel, Singosari, dan Majapahit sampai dengan tahun 1510.
Sampai dengan kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis yang lebih dulu menguasai pulau Maluku (Ternate). Kedua bangsa ini pun melalui kerajaan Ternate ingin menguasai pulau Banggai sampai dengan kekalahan mereka oleh Belanda dan Ternate pada tahun 1578 mereka belum sepenuhnya menguasai kawasan pulau Banggai, Peling dan Kopelkop (kepala burung) pulau Sulawesi secara sepenuhnya.
Tetapi pada periode ini Tanobolukon sebagai pusat kerajaan Banggai tetap eksis mempertahankan wilayah kerajaan yang telah terbangun sejak awal didirikan kerajaan ini yang di perkirakan sekitar awal abad Ke – XII M.
Pada kawasan lain yaitu di dataran Banggai darat Ternate melalui kerajaan Banggai sebelumnya telah menyatukan beberaka kerajaan, diantaranya kerajaan Kembar Motindok Bola Lowa dan kerajaan Gori-Gori di bagian barat dataran Batui dan Toili.
Sedangkan bagian kepala burung semenanjung pulau Sulawesi masih berdiri kerajaan Tompotika yang disatukan kemudian oleh Jogugu Sapia, kerajaan Tompotika di perkirakan berakhir pada sekitar akhir abad ke 16 M. Raja terakhir kerajaan ini yaitu Lalogani (atau keponakanya) diberi Lolantang sebagai penguasa disana yang diberi gelar Lipuadino (di Lolantang dikenal dengan nama Laso Paga/Laso Pagaga dalam dialek Saluan). Sedangakan saudara perempuanaya terlebih dahulu diberikan kawasan lampa di pulau Banggai sebagai kekuasaanya dan diakui statusnya tetap seorang Raja Tompotika.
Pada akhir abad ke 16 M hampir seluruh Kawasan yang kita kenal sekarang sebagai kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut telah dipersatuakan oleh Raden Cokro yang merupakan panglima perang yang di utus dari pulaa Jawa untuk membantu Sultan Baabualah melawan Portugis di Ternate.
Raden Cokro yanga merupakan salah satu panglima Sultan Ternate diberikan Banggai sebagai wilayah kerajaan dalam binaan kesultatanan Ternate. Sejak itulah Banggai dikuasai oleh kesultanan Ternate pada tahun 1580. Tahun ini juga yang menjadi tanda berdirinya kerajaan Banggai baru serta menutup periode banggai lama yang hanya meliputi Tano Bolukan saja.
Samapai dengan tahun 1600 M Banggai dipimpin oleh 20 orang pemimpin yang masing masing bergelar Adi, Tomundo dan Mbumbu.
Berikut pemimpin Banggai sejak berdirinya sampai dengan tahun 1600 adalah :
Gahana Gahani
Tahana Tahani
Adi Kalut Po Kalut
Adi Moute
Adi Lambal Polambal
Tomundo Kokusu
Tomundo Sasa
Tomundo Sabol
Mbumbu Doi Jawa Aji Aaka (Adi Soko asal Kediri)
Mbumbu Pangkalalas Doi Tano (Abdul Jabar)
Mbumbu Pangkalalas Doi Ndalangon (Mpu Nolo/Mpu Nala)
Mbumbu Palakangkang (Ansyarah)
Mbumbu Tetelengan (Kadubo)
Mbumbu Dinadat Doi Batang (Kaluka Bulang I)
Mbumbu Dinadat Doi Taipa (Kaluka Bulang II)
Mbumbu Dinadat (Manila)
Mbumbu Aibinggi (Tojani)
Mbumbu Sinambebekon (Abu Kasim)
Mbumbu Doi Taipa (Tosali)
Mbumbu Pangkola (Syidada)
Demikian sekilas lintas kisah berdirinya kerajaan Banggai yang tidak lepas dari pengaruh Kawasan disekitarnya yang kemudian menjadi satu satunya kerajaan yang eksis di kawasan ini.
Selanjutnaya dipimpin sebanyak 20 raja berikutnya. Setelah penghapusan daerah otonom Federsi kerajaan Banggai tanggal 12 Agustus tahun 1952, maka berakhir pula kerajaan Banggai menyatu kedalam negara Republik Indonesia dengan status sebagai daerah swatantra yang dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan negeri (KPN). *
Bersambung
(Penulis adalah dewan kebuyaan dan sejarah Banggai)
Discussion about this post