Oleh: Aswan Ali, S.H
MENARIK sekaligus menggeletik respon balik Dr. Syarif Makmur, M.Si menanggapi refleksi pemikiran saya tentang polemik “Paradigma Baru Kepemimpinan, Cawe-Cawe Kok Dipermasahkan?” (Luwuk Times (5/6).
Menarik, karena setidaknya saya menjadi kenal lebih dekat sosok pribadi Dr. Syarif Makmur, M.Si, plus pengalamannya menekuni profesi ASN pada birokrasi pemerintah (pusat).
Menggelitik oleh karena melalui tulisan tersebut telah memicu ruang diskusi publik melalui media (Luwuk Times).
Terkait “cawe-cawe” sebagai kosa kata yang dipakai Presiden Jokowi untuk mengekspresikan ketidaknetralannya dalam penyelenggaraan pemilu/pilpres 2024.
Ketidaknetralan Presiden Jokowi tersebut setidaknya sebagaimana direspon oleh sejumlah pakar hukum tata negara dan sebagaian politisi diluar koalisi pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak perlu menanggapi satu demi satu jawaban Dr. Syarif Makmur, M.Si. Secara keseluruhan argumentasinya yang telah dipaparkan itu tentu saja patut dihargai sebagai ikhtiar setiap orang dalam mengungkapkan pemikirannya diruang publik.
Sebagai mantan birokrat (PNS) pada instansi vertikal (pusat) maupun daerah dengan pengalaman mengabdi selama hampir 20 tahun, tentu saya dapat memahami loyalitas seorang “abdi” birokrasi terhadap pimpinannya maupun kepemimpinan nasional, (dalam konteks ini hanya terdapat sedikit ASN yang berani mengambil resiko jabatan, mau mengkritik pemerintah, contoh Ubedilah Badrun, S.Pd, M.Si seorang dosen Universitas Negeri Jakarta yang melaporkan ke KPK anak Presiden Jokowi atas dugaan korupsi).
Potensi Pemakzulan
Apa yang menjadi keresahan publik terkait cawe-cawe Presiden Jokowi dalam perhelatan pilpres 2024, secara yuridis konstitusional dipandang berpotensi menimbulkan konsekwensi pemakzulan (impeachment) terhadap jabatannya.
Beberapa ahli hukum tata negara yang berpendapat bahwa Presiden Jokowi dapat dilengserkan dari jabatannya dengan kasus “cawe-cawe”, yakni mantan Wamenkumham dan advokat senior Prof. H. Denny Indrayana, S.H,LLM.Ph.D, dan Feri Amsari, S.H,M.H,LLM, aktivis hukum sekaligus akademisi dari Universitas Andalas, Sumatera Barat.
Menurut Denny Indrayana, sebagaimana dikutip dalam pemberitaan sejumlah media massa online dan podcast Integrity milik Denny, bahwa apa yang dilakukan Presiden Jokowi melalui KSP Moeldoko, yaitu “mencopet” Partai Demokrat dengan mengajukan upaya hukum luar biasa atau PK terhadap putusan inkracht PTUN yang memenangkan lawannya dari kubu Ketum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), merupakan tindakan yang dapat membawa Presiden Jokowi ke proses pemakzulan.
“Secara teori, harusnya ikut campurnya istana dalam pengambilalihan paksa Partai Demokrat, juga bisa menjadi pintu masuk pemakzulan Presiden Jokowi,” kata Denny Indrayana seperti diberitakan DutaIndonesia.Com (31/5).
Discussion about this post