“Saya setuju dengan pendapat Prof. Jimly ini, bahwa dibiarkannya KSP Moeldoko membajak Partai Demokrat harusnya bisa menjadi pintu masuk pemakzulan (impeachment) Presiden Jokowi,” ujar Denny Indrayana dalam tulisannya di akum twitter @dennyindrayana (Sabtu, 3/6).
Pendapat serupa juga dikemukakan Feri Amsari. Pada program Medcom yang disiarkan MetroTVNews.Com (Selasa 30/5), Feri Amsari mengatakan, tindakan Jokowi yang menyampaikan akan melakukan cawe-cawe di pilpres 2024, tergolong sebagai perbuatan tercela.
“Kurang tercela apa lagi kalau menggunakan fasilitas negara untuk melakukan cawe-cawe,” ujar Feri.
Menurut dia, sesuai konstitusi UUD 1945 Pasal 7A, Presiden Jokowi dapat dikenakan tindakan pemakzulan atas cawe-cawe (perbuatan tercela), yakni menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pemenangan capres tertentu pada kontestasi pilpres yang sedang berlangsung.
Hal senada juga disampaikan politisi Partai Demokrat, Benny K. Harman, “Lho, presiden itu kan kepala negara, bukan ketua umum partai juga.
Kepala negara menurut kami sih harus netral yah, tidak boleh cawe-cawe. Kalau kepala negara mau cawe-cawe untuk kepentingan bangsa dan negara, alasan yang sama bisa juga digunakan oleh Kapolri, oleh Ketua MA, oleh Ketua MK, oleh Jaksa Agung, KPK, oleh BIN. Mau begitu semua? Apa semua begitu? Oleh sebab itu, kami tetap punya pandangan presiden itu harus netral”, (KumparanNews, 30/5).
Mencermati kritikan para aktivis hukum dan demokrasi, serta para politisi kubu oposisi pada diskusi diruang publik tersebut, bagi saya pertanyaan yang relevan adalah, apakah iklim politik saat ini memungkinkan untuk mempraktekkan teori pemakzulan sesuai konstitusi UUD 1945 terhadap Presiden Jokowi atas dalih cawe-cawe tersebut?
Mengingat konstalasi politik yang terbentuk di parlemen (DPR/PMR) mayoritas atau sekitar 82 % dikuasasi fraksi pendukung pemerintah (hanya menyisahkan Fraksi Partai Demokrat dan PKS di kubu oposisi), maka rasanya sulit, bahkan mustahil menjalankan “operasi” pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.
Apalagi berlaku syarat formal, dimana usulan pemakzulan presiden harus mendapat “fatwa” persetujuan dari MK. Nah, palu sidang di MK saat ini dipegang adik ipar Jokowi, Prof. Dr. Anwar Usman, S.H,M.H. Maka semakin stres (tertekan) kelompok penentang cawe-cawe Presiden Joko Widodo.
Apakah karena komposisi power di parlemen seperti itu yang membuat Presiden Jokowi kepedean alias terlalu percaya diri menghadapi kubu oposisi? Wallahu alam bissawab..!*
Penulis adalah advokat / Ketua DPC PPKHI Kab. Banggai
Discussion about this post