Dengan demikian, gagasan perpanjangan masa jabatan yang masih dalam periode kedua – di satu sisi – berpotensi akan mendapat respon positif dari para pihak yang diuntungkan secara politik. Di sisi lain dan celah ini yang memang disiasati, bahwa presiden-wakil presiden tidak dijadikan sebagai “tersangka” utama, bahkan sebagai the common enemy negeri ini. Tidak menjadi sasaran kritik dan berpotensi lepas dari koreksi secara mendasar tentang motif politik-ekonomi yang super tendensius itu, bahkan siapa para aktor yang berperan di belakangnya. Dengan gagasan itu (perpanjangan masa jebatan masih dalam satu periode) akan membuat basis massa juga terpecah. Ada pro-kontra yang – boleh jadi – cukup menguat.
Kini, kita perlu uji dari perpektif konstitusi. Kembali pada Pasal 7 UUD NRI 1945, sudah demikian eksplisit dinyatakan, masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden lima tahun pada setiap periodenya. Berarti, sama sekali tak dikenal lebih dari lima tahun dalam satu periodenya. Konsekuensinya, masa jabatan yang diperpanjang lebih dari lima tahun – meski dalam satu periode – merupakan pelanggaran konstitusi yang dilakukan secara sengaja. Upaya kesengajaan ini bisa digolongkan sebagai “kudeta” terhadap konstitusi yang melegalkan perpanjangan masa jabatannya. Dan kudeta ini – jika ditelisik sumbunya – diprakarsai oleh rezim berkuasa saat ini dan inner circle kekuasaan yang terlibat, meski – secara terbuka – Jokowi menolak gagasan masa jabatan yang diperpanjang itu. Secara semiotik, penolakan verbal justru harus dibaca sebaliknya. Dan analisis semiotik versus body language ini cukup referensial dari catatan empirik sebelumnya.
Dalam perspektif konstitusi, Presiden sebagai aktor utama kudeta layak dan memenuhi unsur untuk proses impeachment. Dan MPR RI berkewajiban secara konstitusi dan moral untuk mengambil langkah politik konstitusional untuk mengajukan diktum impeachment itu ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang hasilnya dikembalikan lagi ke MPR RI untuk disahkan secara politik. Dengan bukti sah pelanggaran serius terhadap konstitusi itu, maka tak ada argumentasi rasional untuk menolak impeachment itu. Namun, ketiadaan argumentasi rasional tidaklah otomatis bagi MPR bahkan MK memperkuat landasan keputusan impeachment. Inilah problem low politics. Semuanya dikalkulasi atas dasar kepentingan pragmatis.
Konfigurasi kekuatan politik yang notabene ada dalam gepak sayap presiden dan kepentingan politik pragmatis membuat sang rezim tetap merasa di atas angin. Tak terlihat sinyal body language yang menunjukkan rasa takut atau cemas atas pelaggaran konstitusi itu. Justru – dengan gaya khasnya – kian galak kepada para kontrarian. Dalam hal ini konstitusi tak berharga lagi. Karena itu – at any time – senyum ceria terus menghiasi wajah sang penguasa. Sungguh miris pemandangan politik negeri ini. Di satu sisi terlihat jelas gejala potensial penginjak-injakan konstitusi. Di sisi lain, jeritan reaktif rakyat karena kegagalannya memimpin negara hanya dilihat sebagai warna asesoris demokrasi.
Aneh bin ajaibnya, kegagalan total penyelenggaraan kenegaraan dioleh sedemikian rupa oleh lembaga-lembaga survey pesanan. Outputnya, terjadi kepuasan publik lebih dari 70% atas penyelenggaraan pemerintahan saat ini. Benar-benar sublimasi yang sangat tidak makes sense. Tolok ukurnya sederhana, bagaimana rakyat puas sementara kesejahteraan rakyat masih tersungkur. Pertumbuhan ekonomi juga makin terkoreksi, minimal masih jauh di bawah janji politiknya (7%). Dan secara ekonomi mikro, rakyat diperhadapkan krisis kelangkaan kebutuhan pangan seperti minyak goreng yang di bawah kepemimpinan kartel Syamsul Nursalim, penyandang dana utama Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sumber daya alam dan mineral juga kian terbiarkan tereksploitase tanpa batas.
Sementara, krisis panorama ketidakadilan hukum dan korupsi, apalagi perlakuan politik dan penistaan agama masih jauh dari identitas keadilan dan kebenaran. Dan semua itu dipertontonkan secara dramatik tanpa malu, bahkan tanpa merasa salah. Sulit disangkal, lembaga-lembaga survey bayaran ini berandil besar terhadap potret destruksi nasional, dari sisi sosial dan politik, bahkan – pada akhirya – sektor ekonomi mikro. Mereka – saat ganti rezim – layak diminta pertanggung-jawabannya secara hukum. Pidana berat – atas nama keikutsertaan menghancurkan kepentingan rakyat – layak dikenakan para aktor surveyor itu.
Mencermati kegagalan tata-penyelenggaraan pemerintahan itu – dalam pandangan Partai Negeri Daulat Indonsia (PANDAI – mewajarkan sebagian besar elemen bangsa ini bukan hanya keberatan atas keinginan bahkan rencana dan skenario perpanjangan masa jabatan presiden, tapi memang harus ditolek dengan tegas. Keinginan, rencana dana tau scenario tersebut jelas-jelas melanggar konstitusi, apalagi moral.
Memasuki tahun kedua Jilid II saja sudah semakin benderang kualitas dan kuantitas kegagalan itu. Fakta ini menjadi sangat tidak rasional untuk membenarkan perpanjangan masa jabatan itu. Dalam perspekif filosofis, periode kedua sejatinya dirancag untuk menguatkan pembuktian kinerja dan harunya sudah mulai diperihatkan saat memasuki Jilid II, bukan sebaliknya: semakin hancur. Inilah filosofi yang harus dipahami seluruh elemen bangsa, tentu termasuk para penyelenggara pemerintahan saat ini, dan para inner circlenya. *
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Jakarta, 18 Maret 2022
Discussion about this post