IKLAN
Opini

Urgensi Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Problematika Proses Seleksi Mahkamah Konstitusi RI

776
×

Urgensi Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Problematika Proses Seleksi Mahkamah Konstitusi RI

Sebarkan artikel ini
Ronaldi Timpola

Pengangkatan hakim merupakan sebuah ikhtiar untuk mencari manusia yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum, masuk akal bila dalam sistem yang lebih terbuka dan demokratis sekarang ini, ada suatu proses pemilihan hakim yang menjamin tersaringnya orang-orang terbaik dengan kualitas terbaik.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses rekrutmen hakim MK harus dapat dipastikan dilaksanakan dengan transparan, akuntabel dan profesional.

Memang secara yuridis, proses rekrutmen hakim MK telah secara jelas diatur dalam UU MK. Sebagaimana ketentuan UU MK RI No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.

Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa hakim MK terdiri dari 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Proses pengisian 9 hakim MK tersebut ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 18 yang menyebutkan bahwa hakim MK diajukan oleh masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) oleh DPR, 3 (tiga) orang oleh Presiden.

Proses pengisian yang diajukan masing-masing oleh MA, DPR, dan Presiden dimaksudkan adanya cerminan 3 centrum kekuasaan sebagaimana teori trias politika Jhon Locke seorang filsuf inggris yang kemudian konsep ini dikembangkan oleh Montesquieu bahwa konsep ini mencegah kekuasaan negara yang bersifat absolut.

Sistem rekrutmen hakim konstitusi memiliki karakteristik yang beragam sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Baca:  Dukungan Publik Service Internasional dalam Menolak Privatisasi PT PLN di Indonesia

Ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

Pengaturan mengenai seleksi hakim konstitusi telah diatur juga dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bahwa unsur-unsur pengajuan hakim konstitusi terdiri atas konsep pencalonan yang dilaksanakan secara transparan dan partisipatif, serta konsep pemilihan yang dilaksanakan secara objektif dan akuntabel. Kemudian, pada Pasal 35 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa Ketentuan lanjutan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim konstitusi diatur dalam undang-undang.

Amanat UU Kekuasaan Kehakiman tersebut tidak terlepas dari turunan dari Pasal 24C ayat 6 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Perihal pengangkatan hakim konstitusi dan syarat-syaratnya diatur dalam undang-undang.

Atas dasar itulah, UU Mahkamah Konstitusi seharusnya mempertegas norma yang mengatur tentang seleksi hakim konstitusi.

Namun, Pasal 20 UU Mahkamah Konstitusi hanya mengatur norma yang sama sebagaimana yang termaktub dalam UU Mahkamah Konstitusi, dimana Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang dalam pengajuan hakim konstitusi dan dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.

Baca:  Memahami Esensi Perselisihan Hubungan Industrial: Prosedural PHK dalam UU Cipta Kerja

Suryono Sukanto dalam bukunya ”Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum” menyebut efektifitas penegakan hukum ditentukan oleh empat faktor yang sangat mempengaruhi penegakan hukum dalam suatu negara demokrasi.

Pertama, materi hukum itu sendiri, baik dalam pengertian subtansial dari suatu peraturan perundang-undangan maupun hukum formal untuk menegakan hukum material.

Kedua, profesionalisme aparat penegak hukum.

Ketiga, sarana dan prasarana yang cukup memadai. Keempat, adalah persepsi masyarakat terhadap hukum itu sendiri.

Keempat faktor tersebut antara satu dan lainnya saling mempengaruhi, guna menunjang profesionalisme aparat penegak hukum, sudah barang tentu tidak semata-mata bergantung pada kualitas sumber daya manusia semata, namun sistem yang diciptakan pun turut mempengaruhinya.

Hal ini sangat relevan dengan sistem seleksi hakim konstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, menginginkan hakim konstitusi yang memiliki integritas haruslah digembleng dengan proses yang kompetitif.

Sebab, dengan kompetisi itulah akan menciptakan hakim konstitusi yang kompeten, kompatibel dan bertanggung jawab dalam mengemban amanah sebagai pengawal konstitusi.

Bukan tidak mungkin, hakim konstitusi yang dipilih berdasarkan kepentingan politik akan sangat mempengaruhi independensi dan kebebasan hakim konstitusi dalam memutus perkara.

error: Content is protected !!