Saya juga mengingat testimoni John McGlynn di tahun 2018, bahwa yang dilakukan Kak Lily dan tim MIWF adalah kebaikan. Bagian dari upaya menjaga sastra Indonesia dan merupakan kontribusi besar bagi kebudayaan Indonesia. Bahwa kegiatan seperti ini sudah seharusnya digandakan atau dilaksanakan di kota lain.
Dalam sakitnya, tangan Kak Lily tetap merawat taman-taman yang dibangunnya. Ia melakukannya melalui Whatsapp. Tahun ini Kak Lily hadir di Banggai, bukan sebagai narasumber, tetapi sebagai pribadi yang merasa harus ada untuk Festival Sastra Banggai yang disebutnya sebagai sister festival dengan MIWF.
Kak Lily hadir bersama program Baku Bantu MIWF dan program bersama Period, meski di masa-masa itu, ia mengunggah aktivitasnya ke rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Ia dan sakitnya “merawat” taman-taman yang hadir karena keinginan dan harapan-harapan yang dipikulnya dengan berani.
Kami berkoordinasi melalui Whatsapp, mengenai kedua program ini. Salah satu program ini melahirkan satu antologi “Musim yang Pergi.” Ada logo MIWF di buku itu, bukti bahwa di antara sakitnya, Kak Lily masih memikirkan bagaimana kata-kata bekerja dan membawa anak-anak Indonesia bagian timur terlihat dan terbaca.
Kepulangan Kak Lily menujuNya adalah kehilangan besar bagi saya, kami, dan Indonesia secara keseluruhan. Ia kakak, ibu, dan sekaligus guru. Perempuan yang seolah tak pernah berhenti menelurkan dan menggagas ide-ide ini, berhasil menarik banyak perempuan lain untuk bergerak.
Kepulangan Kak Lily dilepas dengan banyak cinta dan doa dari berbagai kalangan; suami dan anak yang mencintainya, saudara dan kawan yang menyayanginya, orang-orang di berbagai penjuru yang mengenalnya, dan kami anak-anak muda Indonesia bagian timur yang “ditemukannya.”
Warisan Kak Lily adalah harapan dan taman-taman asri yang telah memekarkan bunga-bunga. Ada banyak percakapan tentang keinginan yang sempat kami bincangkan. Keinginan itu belum wujud hingga kini, namun ada kepercayaan yang (mungkin) terlalu berani, bahwa di waktu yang entah keinginan itu akan mewujud.
“Sampai kelak aku bisa menatapmu kembali, engkau bisa menatapku kembali. Selamat jalan kekasihku,” tulis Farid Ibrahim di akun instagramnya.
Seperti tulisan Pak Farid Ibrahim; sampai nanti, Kak Lily. Terima kasih untuk tangan yang selalu terulur, semangat yang diberikan di telapak tangan kami, dan keberanian yang diletakkan di puncak kepala kami. Sekali lagi, terima kasih banyak, Kak Lily. Untuk semua yang telah dan pernah. *
Discussion about this post