Oleh: Aminuddin Kasim
APAKAH keputusan pembatalan penggantian pejabat serta merta (otomatis) dapat menghapus kesalahan atau pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada yang pernah dilakukan oleh Bupati? Atau sebaliknya, tetap saja tidak menghapus kesalahan atau pelanggaran yang pernah terjadi?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tidak berlaku bagi daerah-daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada Serentak. Lalu, karena di daerah itu tidak berlangsung Pilkada Serentak, maka para Bupati di daerah itu tidak terikat dengan asas dan norma Pilkada. Berlakunya aturan (hukum) terikat dengan kuasa waktu (tijd gebied), kuasa ruang/tempat (ruimte gebied), kuasa atas orang (person gebied), dan kuasa atas urusan/substansi (zaken gebied). Pengisian, pengangkatan atau penggantian pejabat di daerah itu terikat dan tunduk pada aturan manajemen kepegawaian, seleksi jabatan, serta pengawasan KASN.
Berbeda dengan daerah-daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada Serentak. Pada daerah yang berlangsung Pilkada Serentak, para Bupati terlarang untuk melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, terkecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri (Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada). Di daerah penyelenggara Pilkada, terikat dengan asas dan norma UU Pilkada, terikat dengan asas bebas dan adil (free and fair election), terikat dengan larangan untuk melakukan kecurangan Pilkada (election fraud). Ketentuan Pasal 71 ayat (2) itu tidak hanya ditujukan kepada Bupati (Petahana), tetapi juga ditujukan kepada Bupati yang bukan Petahana. Bagi Bupati yang melanggar Pasal 71 aya (2) diancam dengan pidana penjara dan/ atau denda (Pasal 190 UU Pilkada). Lalu, khusus bagi Bupati (Petahana), selain diancam dengan Pasal 190 UU Pilkada juga diancam dengan sanksi pembatalan berupa: (a) tidak ditetapkan sebagai calon (TMS) atau (b) dibatalkan sebagai calon.
Namun demikian, larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tetap dilanggar oleh Bupati Petahana di beberapa daerah. Pada Pilkada Serentak 2017, ada dua kasus yang menarik dijadikan referensi terkait dengan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yaitu di Kota Kupang dan di Kabupaten Boalemo. SK Penggantian pejabat yang dilakukan oleh Bupati Petahan di daerah itu sempat dibatalkan sebelum penetapan Paslon. Pembatalan itu dilakukan setelah diketahui ada sanksi pembatalan sebagai calon.
JIka kita mendalami asas-asas Hukum Administrasi, maka ditemukan satu asas yang mengatakan bahwa semua keputusan (beschiking) dianggap sah (presumption iustae causa). Keabsahan keputusan itu dinyatakan hilang jika ada keputusan baru yang membatalkan atau mencabut keputusan terdahulu. Dalam konteks ini, berlaku asas “contrarius actus” (Simak: Pasal 66 ayat (3) huruf UU No. 30 Tahun 2014). Asas itu juga berlaku jika keputusan akan dinyatakan berakhir (Pasal 68 ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2014). Lalu, suatu keputusan (lama) dapat dibatalkan (dengan keputusan yang baru) apabila mengandung cacat yuridis berupa: (a) cacat wewenang, (b) cacat prosedur, dan/atau (c) cacat substansi (Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014).
Pada daerah yang menyelenggarakan Pilkada, dan rezim Hukum Pilkada berlaku di situ, para Bupati terlarang membuat keputusan (beschikking) terkait pergantian pejabat. Ketika keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat sudah ditetapkan, maka seketika itu sudah terjadi pelanggaran Pasal 71 ayat (2). Jadi, pelanggaran sudah terjadi dan berakibat hukum. Pada keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat terdapat Diktum yang menyatakan bahwa keputusan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan, yakni menunjuk tanggal dan tahun yang tertera pada bagian akhir keputusan itu.
Lalu, ketika pembatalan ditetapkan (keputusan baru) atau pembatalan terhadap keputusan lama, maka seketika itu terjadi pelanggaran yang kedua kali. Artinya, karena ada 2 (dua) keputusan (beschikking) yang diterbitkan (keputusan lama dan keputusan baru), maka tercatat 2 (dua) kali perbuatan pelanggaran yang terjadi. Jadi, pembatalan terhadap keputusan penggantian (pengangkatan) tidak dilihat dari pengembalian pejabat (person) ke posisi yang semula, tetapi dilihat dari adanya 2 (dua) keputusan yang terbit.
Discussion about this post