LUWUK, Luwuktimes.id – Bukan Aswan Ali, kalau tidak serius dan kritis dalam mengawal perhelatan Pilkada serentak di daerah ini.
Jika sebelumnya, pria yang berprofesi sebagai pengacara ini sempat memperingatkan KPU dan Bawaslu Kabupaten Banggai melalui somasinya terkait pelanggaran administrasi pemilihan yang dilakukan pasangan petahana Herwin Yatim dan Mustar Labolo (WINSTAR), Aswan kini tengah mempersiapkan kegiatan bertajuk “Sayembara Berhadiah Berantas Politik Uang”.
Menurut Ketua DPC Perkumpulan Pengacara Dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kabupaten Banggai ini, sayembara berhadiah ini dilaksanakan dibawah naungan Yayasan Forum Kedaulatan Rakyat (Yasfora), yaitu LSM yang berbadan hukum dan terdaftar pada Badan Kesbangpol Kabupaten Banggai.
Untuk menjalankan pengawasan partisipatif ini, tambah Aswan, pihaknya mengembangkan jaringan personil hingga ke desa-desa, serta bersinergi dengan Panwascam dan para pengawas TPS setempat.
Kalau tiba saatnya nanti, ada pemilih yang diberi uang untuk mempengaruhi agar dia mencoblos calon tertentu, maka kata Aswan, uang itu jangan dibelanjakan, tetapi serahkan kepadanya sebagai barang bukti untuk ditukar dengan hadiah yang tiga kali lipat jumlahnya.
Selanjutnya, bersama dengan para saksi dan barang bukti, pihaknya akan melaporkan perbuatan melawan hukum itu kepada pihak yang berwenang untuk diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Ini bentuk partisipasi saya dan teman-teman dalam mengawal Pilkada demi terpilihnya pemimpin daerah ini yang berintegritas, adil dan beradab,” kata mantan ASN dan jurnalis itu.
Dalam penyelenggaraan sayembara ini, jelas Aswan, pihaknya telah mendapatkan dukungan baik secara moril dan finansial dari kalangan tertentu yang ingin berkontribusi positif dalam proses penyelenggaraan Pilkada yang jujur dan adil.
Ditanya pihak mana yang mensponsori pendanaan hadiah untuk sayembara ini, Aswan mengelak menjelaskan. Alasannya, tidak etis karena sudah komitmen dengan yang bersangkutan agar tidak membukanya ke publik.
Meski begitu, Aswan menjelaskan, terkait hadiah yang akan diberikan kepada peserta sayembara, yaitu berupa uang sebanyak tiga kali lipat dari jumlah nominal uang yang diberikan untuk menyogok para pemilih agar memilih calon atau kandidat tertentu.
“Jadi kalau uang sogoknya 100 ribu, maka kami akan kasih hadiah 300 ribu, asalkan orang yang diberi uang sogok itu melapor kepada kami,” ungkapnya.
Bahkan untuk memperkuat jaringannya, kata Aswan, pihaknya akan menjalin komunikasi dengan komisi pengawas kepolisian dan kejaksaan, sejak laporannya dibuka ke Panwas dan Bawaslu. Hal ini diperlukan, katanya, guna mengantisipasi penanganan kasusnya berlarut-larut hingga akhirnya terjadi daluarsa.
Dalam prakteknya, jelas Aswan, tindak pidana pemilihan berupa politik uang ini, seringkali terkendala di Sentra Gakkumdu, karena unsur kepolisian dan kejaksaan sering kali tidak sependapat dan bertentangan dengan kesimpulan Bawaslu.
Kasus politik uang yang terungkap pada momen pemilihan legislatif maupun Pilkada di daerah ini, meskipun telah dilaporkan ke Panwaslu dan Bawaslu, tetapi tidak sampai ke pengadilan, karena ketika diproses Sentra Gakkumdu, persoalannya menjadi kabur dan daluarsa.
Lebih jauh Aswan menjelaskan, praktek politik uang adalah kejahatan pemilihan pejabat publik yang merusak tatanan demokrasi dan menciptakan pejabat yang koruptif. Oleh karena itu sesuai ketentuan regulasi yang berlaku, para pelaku politik uang diancam dengan hukuman pidana penjara dan denda 200 juta hingga satu miliar.
Larangan politik uang, kata Aswan, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada, pasal 73 ayat (1), (2), (3) dan (4). Sedangkan saksi pidananya diatur pada pasal 187A ayat (1) dan (2).
Sanksi pidananya tidak hanya dikenakan terhadap para pemberinya, baik kepada calon, tim kampanye, para relawan atau pribadi seseorang, akan tetapi sanksi pidana penjara itu juga berlaku dan dikenakan juga k epada penerimanya (pasal 187A ayat 2).
Terhadap pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Paslon tersebut selain dibatalkan statusnya sebagai calon, juga diganjar dengan hukuman pidana penjara paling singkat 36 bulan atau paling lama 72 bulan, serta denda paling kurang Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar (pasal 187A ayat 1)). Dan kepada pemilih yang menerima pemberian uang dengan maksud agar ia memilih calon tertentu, juga dikenakan saknsi hukuman pidana dan denda yang sama dengan pelaku pemberinya (pasal 187A ayat 2).
Olenya itu Aswan mengajak kerjasama dalam memberantas praktek politik uang tersebut. “Pemilih yang menginginkan uang tidak perlu khawatir, karena kami akan memberikan uang tiga kali lipatnya, serta anda akan terbebas dari ancaman hukuman penjara dan denda ratusan juta,” pungkasnya. *
(yan)
Discussion about this post