DKISP Kabupaten Banggai

Opini

Demokrasi, Jakarta dan Tantangan Politik Keamanan

255
×

Demokrasi, Jakarta dan Tantangan Politik Keamanan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Farhat Abbas

KIAN liberal. Terkategori tak terkendali. Itulah artikulasi demokrasi di tanah air ini. Siapapun selaku warga negara berusaha menyampaikan hak-haknya dengan bebas. Sebebas-bebasnya dan kadang melampaui batas hak-hak pihak lain. Diartikulasikan dalam panggung terbuka, atau media, termasuk media sosial yang demikian cepat viralisasinya. Mereka tak peduli dengan UU ITE yang kadang bisa menjerat sikap dan tindak yang melampaui batas karena ada pihak yang dirugikan, minimal secara imateriil, jika korban menunut.

Dapat dipahami artikulasi demokrasi itu. Di satu sisi – sebagai individu atau kelompok – karena merasa terganggu hak-haknya. Di sisi lain, ekspresi dan artikulasi haknya dijamin konstitusi (Pasal 28 UUD 1945). Atas dasar dua landasan ini, maka kita saksikan panorama unjuk rasa yang kulminatif. Pernah terjadi kulminasi aksi yang mendorong ribuan massa turun ke lapangan karena persoalan legislasi yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, seperti UU Omnibus Law, ketentuan upah minimum, RUU Pedoman Ideologi Pancasila (PIP).

Terjadi juga mobilisasi protes massa secara kulminatif dalam kaitan politik kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Dan tak bisa dilupakan juga, kulminai aksi massa jutaan massa yang menunut keadilan yang harus ditegakkan akibat penistaan agama. Tentu, masih banyak lagi pagelaran aksi (penuntutan hak) secara demonstratif-ekstensif, melibatkan demikian besar jumlah individu, berbaju kampus, organisasi buruh dan lainnya.

Baca:  Menyorot Kembali Terorisme: Urgensi Menatap Spiritualias Pancasila

Itulah warna demokrasi di negeri ini yang makin ekspresif. Tak terkendali. Seolah telah terlepas dari budaya Indonesia yang ramah, santun, penuh persaudaraan dan saling menghargai. Dan gerakan atas nama demokrasi itu sungguh dominan di tengah Jakarta. Memang, kota-kota besar lain seperti Makassar, Surabaya atau lainnya kadang muncul juga gerakan demonstratif yang cukup kulminatif. Namun, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan episentrum produk perumusan kebijakan, juga pusat menentu status pemerintahan, maka Jakarta menjadi magnet publik untuk menyuarakan aksi ekspresif penuntutan hak-hak asasinya.

Akibatnya, Jakarta tak pernah sunyi dari dinamika massa demonstrasi. Terpusat di sekitar Senayan, atau lingkaran Istana Merdeka, meski dalam radius jauh. Juga, kadang terjadi di sekitar lembaga pengadilan yang memproses hukum penentu. Konsekuensi ini berakibat kontigion. Yaitu, Jakarta diperhadapkan kondisi keamanan yang mencekam. Destabilitas keamanan selalu dalam bayang-bayang yang dipertanyakan. Apakah akan terjadi eskalasi konflik rakyat versus aparat keamanan, atau siutuasi bisa dikendalikan. Hal ini karena – di satu sisi – terdapat massa yang kian “ganas”. Di sisi lain, aparat ketertiban menghalau paksa dengan cara-cara represif.

Baca:  Rusuh PT GNI Morowali Utara, Begini Reaksi Farhat Abbas

Yang perlu kita catat lebih jauh, apakah represivitas itu menjadi satu opsi utama, atau keterpaksaan? Di lapangan kita jumpai fakta, tindakan represif karena keterpaksaan. Untuk mencegah terjadinya keganasan massa yang dinilai sudah keluar dari koridor berdemokrasi. Dan secara fungsional, aparat memang harus menjaga stabilitas keamanan.

Yang menjadi persoalan, apakah tindakan represivitasnya harus melupakan aspek kemanusiaan? Pertanyaan ini terlontar, karena di lapangan dijumpai fakta tindakan yang juga melampaui dari aparat keamanan. Dalam beberapa peristiwa, aparat keamanan juga “kalap”, sehingga di antara barisan massa tampak “dikeroyok” oleh satuan keamanan itu. Terdengar juga fakta di lapangan tentang sejumlah massa pendemo yang diperlakukan secara tidak manusiawi pasca mereka digiring ke arena penahanan.

Tindakan yang berlebihan itu, sering kita saksikan mendorong sebagian aparatur TNI turun tangan. Untuk mencegah kebrutalan kawan-kawan dari satu kepolisian.

error: Content is protected !!