Oleh: Muhadam Labolo
UNTUK kesekian kalinya demokrasi kita di uji. Di uji seberapa kuat Ia berhadapan dengan sumber kedaulatannya sendiri, rakyat. Rakyat menguji gagasan idealnya lewat kontrol di dalam maupun diluar parlemen. Bila kanalisasinya berjalan normal, anggota parlemen dapat berdebat hebat hingga berhari-hari, bukan sembunyi dan berpindah-pindah. Sebaliknya, bila saluran ekspresinya abnormal, parlemen jalanan menjadi pilihan dialektika. Ide demokrasi secara historik digagas oleh rakyat sebagai kritik atas kegagalan autokrasi (Lincoln, 1861). Dapat dipahami mengapa demokrasi selalu bersentuhan dengan pesta rakyat dan tumpahan demonstran dijalanan. Bila suksesi rakyat berpesta, bila marah rakyat dapat memperlihatkan perilaku sebaliknya, mencari wakilnya, menawar kembali akuntabilitas dengan paksa.
Tak beda dari sistem yang lain, demokrasi pun bukan yang terbaik, Ia memiliki talenta bawaan sekaligus virus yang mematikan bila luput dikelola dengan bijak. Bakat bawaan itu setidaknya menawarkan pilihan bagi kaum rasional untuk mengekspresikan kehendaknya dalam arena yang dibingkai tanggungjawab dan pondasi hukum. Dengan begitu semua kemelut yang terjadi dapat dikanalisasi lewat institusi yang tersedia. Sisi buruknya bila demokrasi tak diberi prasyarat, ditingkat teknis Ia hanya mengantarkan sekumpulan aktor ke puncak kekuasaan lantaran popularitas dan kapitalisasi. Sedemikian mengkhawatirkan hingga penganut teokrasi dan sosialis menjadikan demokrasi sebagai objek kritik sekaligus musuh kolektif (common enemy).
Baca juga: MITOS DAN PETAHANA |
Prasyarat demokrasi setidaknya bertumbuh dan tampak lewat kualitas kognisi dan ketercukupan atas kebutuhan dasar rakyatnya. Tanpa itu demokrasi hanyalah rekapan jumlah kepala, bukan isi kepala. Tanpa itu pula demokrasi hanya melahirkan dealer, bukan leader. Hasilnya dapat di takar, mekanisme demokrasi hanya mengkalkulasi jumlah untuk meletakkan seseorang di kursi kekuasaan. Dengan logika itu, tak heran bila demokrasi berjarak dekat dengan akumulasi kapital, apalagi jika Ia sungguh-sungguh di bajak. Realitas itu membuat kekuasaan rentan dipertukarkan demi keuntungan yang tak berimbang. Inilah politik transaksional yang menyandera kepentingan orang banyak seraya mengenyangkan perut segelintir orang.
Baca juga: IBLIS CORONA DALAM PERSEPSI _AWAM |
Agar demokrasi lestari, kuncinya terletak pada kontrol desainernya sendiri, rakyat. Bila tidak, kritik pedas Socrates (399 SM) atas perangai buruk demokrasi bukan isapan jempol, yaitu bodoh, korup, nakal, liar, dangkal dan tak patuh hukum. Untuk menghindari itu, diambil yang terbaik dari yang baik (primus interpares). Karena sulit membayangkan jika ada ribuan orang melakukan rapat dan memutuskan perkara dalam waktu singkat, maka dibuatlah syarat dan mekanisme yang memungkinkan terpilihnya wakil yang tidak saja dikenal dari kemampuan retorik dan artikulatiknya, juga kapasitas moral dan pengalaman yang cukup. Persoalannya, relasi antara basis dan wakilnya tak melulu berbanding lurus dengan aspirasinya. Stigmanya selalu khianat, selingkuh dan dissosiatif.
Diskoneksitas itu kemungkinan karena realitas kontrak sosial kurang dirawat oleh kedua belah pihak. Basis seringkali tak peduli usai wakilnya terpilih dalam satu periode. Seluruh kedaulatan seakan berpindah selama masa kontrak disepakati berdasarkan konstitusi. Apalagi rendahnya pendidikan mengakibatkan orientasi kognisi rakyat hanya mampu memperlihatkan budaya politik parokial-kaula, bukan partisipan. Disisi lain para wakil mengklaim bahwa legitimasi yang diperoleh adalah hasil pertukaran kepentingan sesaat sebagaimana hukum pasar. Kesadaran demikian memposisikan dirinya bukan lagi wakil rakyat, tapi lebih mereprentasikan dirinya dan partai. Perbedaan gelombang frekuensi inilah yang menciptakan banyak distorsi antara kepentingan rakyat dan wakilnya yang hari-hari ini kita saksikan meluap dan tumpah ke jalan. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post