Oleh: Karmila P Lamadang
PADA awal tahun 2020 an kita mengenal istilah generasi Strowberry. Istilah ini awalnya dari Taiwan. Istilah ini ditujukkan kepada generasi kreatif namun rapuh, mudah menyerah dan tidak tahan tekanan masalah baik internal maupun eksternal.
Kata strawberry dianalogikan sebab buah yang satu ini terlihat sangat cantik, segar, eksotis namun ketika ditekan akan hancur ataupun disuhu tertentu langsung mengerut dan rapuh. Usia generasi ini sekitaran lahir tahun 1990-an.
Menurut Prof. Rhenaldi Kasali dalam sebuah artikelnya, bahwa strawberry generation adalah mereka yang penuh dengan gagasan kreatif namun mudah menyerah pada suatu keadaan.
Hal ini kita dapat lihat begitu banyak gagasan pemikiran dan kreativitas generasi ini dalam laman media sosial mereka, namun saat mendapatkan masalah mereka mudah menyerah bahkan mengambil tindakan Bodoh (bunuh diri).
Generasi ini sangat meng agungkan popularitas dan juga pingin dimengerti sehingga jika keinginan mereka tidak terpenuhi mereka akan mengambil jalan pintas yakni bunuh diri.
Akhir-akhir ini hampir setiap bulan atau pekan kita mendengar remaja diusia ini melakukan tindakan bunuh diri.
Saat ditelusuri kebanyakan permasalahan seputaran percintaan, atau stress dengan tugas yang terlalu banyak.
Fenomena bunuh diri ini tidak hanya merambah pada generasi yang hidup dikota metropolitan dengan tekanan kehidupan yang semakin kuat, namun juga sudah merambah pada remaja di daerah, jauh dari kota metropolitan atau bahkan dipedesaan.
Semisal di Provinsi Gorontalo yang terkenal dengan daerah serambi madinah, tingkat pemahaman keagamaan cukup baik dan kepercayaan kepada budaya, rukun dan saling membantu masih kental.
Namun, tiga tahun terakhir ini ada 22 kasus bunuh diri yang dilakukan remaja, sebagaimana dihimpun Dulohupa.id.
Kasus ini tidak hanya terjadi digorontalo namun juga terjadi kota luwuk baru-baru ini yang menghebohkan sekota luwuk.
Pelaku sebelum melakukan tidakan bunuh diri melakukan selfie dan memberitahukan kepada temannya bahwa dia akan bunuh diri, motifnya sama percintaan.
Bahkan, yang terakhir terjadi kemarin Rabu 6 September 2023 di desa Patukuki Kecamatan Peling Tengah Kabupaten Banggai Kepulauan seorang remaja siswa SMA juga melakukan hal yang sama dengan motif yang sama yakni percintaan.
Pertanyaannya ada apa dengan generasi ini? Kenapa bisa terjadi?
Berdasarkan analisis penulis bahwa beberapa hal yang bisa menjadi faktor pemicu fenomena bunuh diri ini diantaranya:
Pertama, self diagnosis terlalu dini tanpa melibatkan pihak yang ahli, terlalu banyak konten creator dadakan yang berseliweran di media sosial dengan membahas permasalahan yang kemudian anak-anak labil ini mengambil nasihat dan mencocokkan permasalahan yang mereka hadapi dan langsung memberi kesimpulan bahwa mereka ada dipihak yang dirugikan.
Mereka tidak mampu keluar dari masalah bahwan memberi kesimpulan mereka lagi stres.
Ketidakhadiran pihak ahli dalam mendiagnosa kasus ini menjadi pemicu mereka mengambil tindakan yang fatal.
Kedua, media sosial selalu menyoroti kasus-kasus bunuh diri bahkan dibuat viral, dan parahnya para netizen yang menyaksikan mendoakan dan seolah membenarkan tindakan tersebut, oleh karena generasi ini adalah generasi labil mereka ibarat spons yang menyerap semua informasi tanpa disaring dan pada akhirnya melakukan hal yang sama agar viral.
Ketiga, ketidak pedulian lingkungan sekitar. Dengan perkembangan teknologi kehidupan masyarakat bukan hanya di kota bahkan didesa menjadi individualisme, kepedulian, kepada sesame terkikis dengan sibuknya berselancar di dunia maya.
Keempat, tersumbatnya kran komunikasi antara anak dan orang tua, hal ini sangat mempengaruhi proses penyelesaian masalah pada diri anak baik masalah yang berasal dari internal (dari dalam diri) maupun masalah eksternal (dari lingkungan).
Kelima, tidak hadirnya orang tua dalam setiap permasalahan anak. Orang tua harus menjadi bahu pertama tempat anak untuk bersandar jika anak mengalami masalah, dengan demikian anak akan mendapatkan solusi yang lebih bijak.
Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang tangguh dan kuat. Allahualam. *
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Luwuk Mahasiswa Doktor Universitas Pendidikan Indonesia
Discussion about this post