Oleh: Farhat Abbas
Cukup unik memang. Itulah Indonesia dalam sebuah sistem katatanegaraan. Bagaimana tidak? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia yang beruas 1.905 juta km2 — susuai hasil Amandemen III pada 2001 yang mereduksi kewenangan Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) — tak lagi memiliki Haluan Negara (HN) sebagai pedoman sistem pembangunan nasional berkelanjutan. Ketiadaan HN tentu berimplikasi serius. Tidak hanya ketidakjelasan mau dibawa ke mana pembangunan negeri ini ke depan, tapi juga banyaknya nuansa overlapping kebijakan karena pijakan pertimbangan yag bersifat jangka pendek dan menengah.
Memang, sejak reformasi bergulir dan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden bersifat langsung, ada konsekuensi politik. Yaitu, capres-cawapres harus membuat visi-misi yang harus ditawarkan. Konsekuensinya, Tim Perumus visi-misi hanya berpikiran pragmatis. Pertama, bagaimana agar visi-misi kandidatnya dinilai menarik dan menjadi faktor elektif bagi para pemilihnya. Kedua, landasan pemikiran ini tentu hanya menatap durasi waktu per lima tahun, bukan 25 tahun, apalagi sampai 50 tahun dan seabad mendatang.
Itulah visi-misi, yang ketika kandidat presiden-wakil presiden terpilih, diubah perumusnnya menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang dibakukan menjadi UU. Baik RPJM ataupun RPJPN — dalam perspektif politik — jelaslah merupakan pemikiran pembangunan yang bersifat pragmatis. Di samping durasinya terbatas, yakni per lima tahun, juga lebih merupakan komitmen janji politik kadidat.
Di sisi lain, sebagai hal ketiga, kualitas RPJM ataupun RPJPN — karena dirumuskan oleh Tim Khusus kndidat — jelas tidak mencerminkan tingkat representasi, baik keterwakilan politik, daerah, apalagi golongan dan kaum profesi sebagaimana logisnya para perumus di MPR. Karena itu, kedua produk perencanaan pembangun itu sama sekali tak bisa disebut sebagai HN dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan.
Karena itu, dalam upaya menatap jauh ke depan untuk seluruh negara besar seperti Indonesia ini sungguh mutlak adanya konsep besar tentang HN, apakah bernama Pokok-Pokok Haluan negara (PPHN) yang notabene sudah disepakati sebagai pengganti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Apapun namanya, HN menjadi satu panduan atau pedoman perencanaan pembangunan yang memperjelas eksistensi suatu negara ke depan.
Kini, muncul pertanyaan lanjutan, siapa yang harus menyusun dan menetapkan PPHN? Pertanyaan ini muncul sejalan dengan catatan historis selama ini bahwa proses penyusunan dan penetapan HN oleh MPR selaku lembaga tertinggi negara, sementara kedudukan MPR kini hanya sebagai lembaga negara, sejajar dengan DPR RI dan DPD RI. Dengan demikian, kewenangannya pun tereduksi. Jika dipaksakan harus menghadirkan HN, maka konsekuensi hukum ketatanegaraannya adalah mengembalikan posisi dan kewenangan MPR. Berarti pula harus dilakukan amandemen kelima, apakah total yang berarti kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen, atau terbatas. Kiranya, dinamika politik dan hukum ketatanegaraan perlu direspons sebagai kebutuhan riil bagaimana harus mengelola negara dengan baik.
Jika kita cermati dinamika dan spirit internal para politisi di parlemen dan atau suasana batiniah di lembaga-lembaga kepartaian, kita bisa mencatat, keinginan kuatnya masih terpaku pada keraguan untuk mengembalikan posisi dan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun demikian, persoalan PPHN juga disadari sebagai kebutuhan nasional. Karena itu, muncul pemikiran bahwa perumusan PPHN tetap di MPR, tapi masuk Ketetapan MPR meski bersifat sebagai administratif. Posisinya lebih tinggi dari UU, meski tetap di bawah UUD, tapi tetap lebih powerful, bisa meminta pertanggungjawaban seorang Presiden yang tidak maksimal dalam merealisasikan PPHN.
Yang menarik untuk dicatat adalah — pertama — karena sifatnya sebagai pedoman atau acuan, maka pelanggaran terhadap PPHN tidak bisa digugat (dilengserkan), meski — secara moral — pemerintahannya menjadi tidak legitimate, tidak kridibel dan tak layak mencalonkan lagi. Dengan pemikiran seperti ini, maka — sebagai hal kedua — keberadaan PPHN tidak dijadikan bayang-bayang impeachment bagi kepala negara dan atau kepala pemerintahan, karena unsur pelengeserannya lebih merupakan faktor-faktor penyalahgunaan kewenangan, di samping faktor ketidaksehatan dan kematian. Itu pun — terutama terkait dengan masalah penyalahgunaan — terdapat mekanisme politik parlemn yang cukup berliku, di samping proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketiga, keberadaan PPHN yang telah dirumuskan itu djadikan acuan bagi kandidat presiden-wakil presiden manapun saat menyusun visi-misi. Dengan kata lain, PPHN model baru ini dijadikan rujukan dan tidak boleh keluar dari koridor yang dirumuskan itu. Kini, sebuah renungan yang layak kita lontarkan, siapakah komponen para perumus PPHN? Tentu MPR. Jika memang harus kembali MPR memilki kewenangan untuk menyusun bahkan menetapkan, berarti tidak hanya DPR yang berwenang. DPD RI sebagai anggota MPR (Pasal 2 Ayat 1 UUD 1945 Pasca Amandemen) — dengan sendirinya — harus dilibatkan, tidak hanya dalam proses penyusunan dan perumusan atau pembahasan, tapi haruslah sampai pada pemutusan.
Discussion about this post