Oleh: Farhat Abbas
TAK percaya lagi terhadap partai politik. Karenanya, di antara mereka apatis. Ogah partisipasi politik. Maka, tidaklah aneh mereka nyinyir terhadap partai. Semakin nyinyir ketika mereka menyaksikan sejumlah orang mendirikan partai baru. Itulah sikap di antara warga negara pada partai yang ada. Salahkah sikap apatis dan sinis itu? Yang jauh lebih krusial, bagaimana dampaknya bagi kepentingan bangsa dan negara jika apatisme politik tetap tak berubah?
Variabel tentang salah dan tidaknya, kita perlu mencatat bijak. Sikap apatis dan sinisnya tidak bisa disalahkan. Sikap dan penilaiannya kembali pada kinerja partai selama ini. Kita tak perlu a priori dan subyektif. Tapi, bicara fakta. Dengan pahit, kita harus sampaikan, mayoritas partai yang ada semakin jauh dari cita-cita idealnya mendirikan partai, di antaranya, menciptakan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia dan keterpanggilan untuk menjaga keutuhan NKRI, mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Kita saksikan, pada awalnya, hampir seluruh partai mengumdangkan cita-cita ideal kenegaraan dan kerakyatan itu. Karena itu, slogan yang selalu terlontar adalah demi rakyat dan atau demi negara, tapi ternyata rakyat sering dikebiri. Dikecewakan secara nurani, bahkan terkadang tersakiti secara fisik. Negara pun sangat sering dikangkangi keberadaannya.
Kekecewaan rakyat itu menampak – di satu sisi – pada produk legislasi yang menggebuk kepentingan rakyat. Dalam tataran ideologi, fakta hukum bicara: DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pedoman Ideologi Pancasila (PIP) yang sarat dengan misi pembonsaian Pancasila. Pengesahan itu penuh dramatik. Karena, pimpinan sidang memaksakan ketok palu tanpa memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anggota sidang paripurna yang menyampaikan catatan keberatan. Interupsi yang ada malah dibalas dengan mematikan microphone bagi sang interuptor. Sangat tendensius. Memang RUU tersebut masih menggantung. Tapi, dapat dibaca arahnya. Tindakan menghold dalam pembahasan selanjutnya hanya menunggu timing yang tepat setelah mereda dari protes publik, terutama dari luar parlemen.
Hampir senada, parlemen juga menunjukkan sikap poltik yang tidak empatif dalam bentuk memaksakan pengesahan UU Omnibus Law. Meski, terjadi reaksi publik yang demikian massif-ekstensif, terutama di luar parlemen, namun seluruh fraksi yang ada kecuali PKS dan Demokrat, tetap menganggap sepi protesters itu. Anehnya, Presiden pun megesahkan UU kontroversial ini, yang jelas-jelas lebih mengakomodasi kepentingan para pemodal, sekaligus paradok bagi kepentingan publik.
Dan masih banyak produk legislasi yang mencerminkan ketidaksejalanan dengan nurani dan kepentingan publik. Inilah sikap politik politisi di parlemen yang terus terngiang di benak publik. Menyakitkan. Para politisi yang manggung di parlemen demikian mudah berubah. Janji-janji politik manisnya saat menuju parlemen dinilai sebagai asesoris demokrasi yang terlepas dari pertanggungjawaban moral.
Mereka tidak responsif lagi terhadap kepentingan rakyat. Jeritannya dipandang sepi, meski jeritan itu disampaikan di alam terbuka dan di bawah terik matahari. Bahkan, di bawah moncong senjata dan laras. Tak sedikit, jeritan itu harus berakhir di balik jeruji besi. Ada juga sampai hilang nyawa. Ketika massa menjerit, menuntut keadilan dan hak-hak asasi lainnya, para elitis partai malah asyik senyum di bawah ruang ber-AC dan fasilitas wah lainnya. “Emang, gue pikirin..”, demikian kira-kira celetuk hati para politisi di fraksi-fraksi itu. Demikian tega melukai hati rakyat, tanpa introspeksi prosesnya menuju singgasana, di parlemen atau kursi empuk lainnya: di pemeritahan.
Gambaran sikap politik fraksi-fraksi yang ada jelas: merupakan manivestasi sikap politik partai. Inilah yang – sekali lagi – membuat sebagian publik antipati partai. Seolah-olah, kehidupan bangsa dan negara ini bisa steril atau terlepas dari perilaku politik partai. Ada kesalahpahaman dalam memandang esensi politik. Padahal, secara esensial dan teoritik, politik merupakan ilmu tata-kelola kenegaraan untuk mengayomi seluruh rakyat. Karena itu, seluruh rangkaian kepentingan hidup berbangsa dan bernegara ditentukan oleh perilaku politik, dari anasir lembaga legislatif dan eksekutif sebagai produsen dan pelaksana kebijakan. Dalam hal ini, peran partai sebagai lembaga politik haruslah menterjemahkan kerangka teoritis ke dalam tataran empiris. Untuk kepentingan bangsa dan negara. Di sinilah urgensinya para politisi harus berkarakter terpuji (berintegritas). Karena itu, parlemen harus diisi secara dominan oleh politisi berkarakter baik atau terpuji. Tidak terus membiarkan para politisi bermasalah secara moral dan integritas. Dalam kerangka membenahi karakter politisi jahat itulah publik diharapkan partisipasi proaktifnya dalam momen perhelatan politik yang ada, saat pesta demokrasi berlangsung ataupun setelahnya, meski dalam ragam partisipasi yang berbeda. Jika tidak, maka dominasi di parlemen tetap para politisi jahat: korup, tidak amanah, lalai tugas dan kewajiban. Dan hal ini akan terus membuat rakyat dikebiri, disakiti dan dipecundangi.
Untuk dan atau atas nama kepentingan bangsa dan negara, rakyat janganlah antipasti terhadap serangkaian kegiatan politik, termasuk pada partai politik. Kalangan buruh, pegawai negeri, keluarga besar TNI-Polri dan kaum mileneal haruslah mengambil prakarsa politik progresif. Perlu kita garis-bawahi, kelompok seperti buruh, pegawai negeri sipil, TNI-Polri cukup merupakan basis massa potensial. Dan terkait konstituen yang berstatus TNI-Polri sudah selayaknya ditinjau ulang terkait hak pilihnya. Yang terpenting ada aturan jelas: tidak menyalahgunakan kekuatannya untuk kepentingan sempitnya. Demi keadilan. Perimbangannya jelas: ketika TNI-Polri tidak punya hak pilih, tapi sering digunakan sebagai alat kekuasaan. Justru menjadi petaka demokrasi tersendiri.
Sekali lagi, barisan publik seperti buruh, kaum milenial, PNS, TNI-Polri haruslah antusias untuk partisipasi politik, bukan membiarkan diri dengan apatis. Apatisme mereka justru menjadi pukulan balik. Sungguh merugikan diri sendiri secara sistimatis. Harus menelan risiko pahit. Minimal sampai lima tahun ke depan, bahkan lebih: seperti yang kita rasakan saat ini. Karena itu, semakin antipati terhadap partai politik, perilaku partai kian tak terkendali, tanpa kontrol. Bahkan, partai (fraksi) kerap memperjuangkan produk legislasi yang berlawanan dengan kepentingan publik. Bahkan, ketika terjadi implementasi kebijakan yang menabrak kepentingan publik – seperti bidang ekonomi (utang membubung tinggi yang jelas-jelas melanggar UU Keuangan Negara), bidang pelanggaran HAM berat, ketidakadilan dan lainnya – parlemen pun diam. Diamnya menunjukkan jatidirinya yang tak menjalankan fungsinya.
Discussion about this post