Oleh: Muhadam Labolo
DIALEKTIKA publik dipaksa berkerut lewat isu berskala besar, penundaan pemilu. Seksinya, karena ide liar itu dicurah-tumpahkan oleh satu dua elite. Mengalir deras menghantam tembok konstitusi, mengacak konsensus politik, hingga membuat kembang-kempis pelaksana pesta demokrasi agar berpikir ulang soal logistik.
_Reasoning_ yang diajukan soal stabilitas ekonomi, ancaman ketidakpastian pandemi, serta desakan arus bawah. Bila itu alasannya tentu mudah dijawab lewat logika dan pengalaman empirik. Bukankah merancang jadwal pemilu adalah garansi bagi kepastian ekonomi. Tanpa itu masa depan ekonomi justru amburadul.
Jika argumennya soal pandemi, bukankah status kita perlahan berubah menjadi endemi. Se- _extrem_ apapun prediksi kita terkait itu, bukankah dengan percaya diri kita lewati pemilukada tahun 2020 dengan angka partisipasi politik mencapai 76,13%. Satu prestasi yang bahkan Amerika Serikat pun kagum.
Bagaimana dengan tekanan arus bawah? Tentu terlalu banyak arus bawah yang mesti diidentifikasi, apakah kepentingan kaum alit atau elit. Dengan mengambil sampel sederhana menurut survei LSI (2022), 70,7% responden menyatakan pemangku presiden harus meletakkan jabatan di 2024 meski pandemi belum berakhir. Bahwa ada kepuasan dilain sisi, itu soal lain. Ini dua isu berbeda sebagaimana terjadi pada rezim sebelumnya, relatif puas tapi tidak untuk ketiga kalinya.
Guna memudahkan memahami isu ini, setidaknya dapat dilihat dari teks dan konteks. Sesuai teks, konstitusi pasal 7 dan 22E, kekuasaan eksekutif dan legislatif dibatasi secara periodik. Artinya, tak ada alasan kuat memperpanjang kekuasaan sekalipun sifat kekuasaan itu secara naluriah cenderung ingin dipertahankan dan diperluas. Ini pun soal legitimasi, yang akan berimbas pada perkara _social distrust._
Kekuasaan pada dasarnya sumber daya yang langka, apalagi semakin ke puncak (Marx). Saking langkanya sehingga diperebutkan lewat berbagai syarat. Dalam sistem demokrasi kompetisi itu di atur lewat konsesus politik yang dituangkan pada konstitusi. Prosedur demokrasi itu hanya mungkin diubah jika konsensus politik berubah akibat alasan yang bersifat darurat. Mekanisme perubahan itupun di atur dalam pasal 37 UUD ’45.
Bagaimana dengan konteksnya? Tentu saja bisa bertumpuk motifnya. Pointnya kemungkinan soal akses kekuasaan. Akses kekuasaan berkaitan dengan sumber daya ekonomi yang menjadi alasan pokok. Akses kekuasaan itu berkelindan antara kepentingan elit berlapis _oligarchi._ Dalam soal projek IKN tentu menunggu cair dana sebesar 466 triliun yang melekat di APBN sebanyak 53,3% (Bappenas,2022).
Akses ekonomi itu dapat dimaklumi dengan menyadari kepentingan elit di puncak kekuasaan. Bila 6 dari 10 anggota legislatif itu benar pebisnis, atau 55% anggota legislatif Senayan saat ini adalah pengusaha menurut riset Marepus Corner (2020), dengan mudah logika publik sampai pada simpul sederhana, penundaan pemilu lebih pada bagaimana memastikan siapa dapat apa, kapan, dimana, dan bagaimana.
_Buying time strategic_ itu juga kemungkinan menyasar pada upaya menyelamatkan nasib sejumlah perkara besar yang menunggak saat ini. Di level bawah KPK berhasil menyisir setidaknya 466 kasus kepala daerah. Tapi publik tak mudah lupa untuk 18 kasus kelas kakap yang oleh ICW (2020) menjadi PR bagi rezim selanjutnya. Dengan mempertahankan rezim setidaknya kasus pertamina hingga KTP akan sampai pada batas kadaluwarsa.
Akses lain yang dapat dicermati adalah upaya menyelesaikan paket UU _Omnibus Law_ pasca putusan MK. Dua tahun masa _iddah_ yang ditentukan MK tentu menjadi peluang bagi upaya memuluskan pemangku kepentingan sebelum rezim berganti. Dan nasib semua pebisnis mulai minyak bumi sampai minyak goreng bergantung pada rezim saat ini. Tanpa berbaik hati, masa depan mereka akan runyam.
Pada konteks akhir berkaitan dengan kesiapan parpol itu sendiri. Membandingkan sejumlah survei terkait elektabilitas parpol dan daya jual tokoh elit dalam parpol itu sendiri terkesan ada ketidaksiapan berkompetisi di dua tahun mendatang. Parpol papan tengah kebawah yang mengusung ide penundaan pemilu jelas membutuhkan energi yang tak sedikit. Setidaknya butuh waktu & _endurance_ lewat _supporting_ pil _viagra_ politik yang efektif.
Akhirnya, dialektika penundaan pemilu memberi kita pengetahuan konstitusi, peran parpol dan membaca aspirasi sebanyak mungkin. Dengan begitu, meski peta komposisi yang mendukung hanya 36% (PKB, PAN & Golkar) dibanding yang menolak 46% (PDIP, Nasdem & Demokrat) dan belum jelas sebanyak 18% (Gerindra & PPP), sangat bergantung pada presiden sebagai dirigent utama dalam presidensialisme.
Kata presiden di akhir tahun 2019, mereka yang mengajukan ide tiga periode kemungkinan ingin menampar muka, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan presiden. Yang jelas, teks dan konteks cukup memberi gambaran memadai untuk merespon isu dimaksud. Bila presiden mengulang kembali pesan itu, artinya beliau konsisten merawat prosedur demokrasi sekaligus meletakkan sejarah hebat bagi bangsa ini. *
Discussion about this post