Menimbang plus-minus dari penghentian dana otsus itu, maka risiko politiknya jauh lebih besar. Karena itu, atas nama mempertahankan Aceh pada Negara Kesatuan Republik Indionesia (NKRI), kebijakan memperpanjang otsus yang berkonsekuensi anggaran itu jauh lebih nasionalistik, manusiawi dan beradab. Cara pandang dan sikap politik konstruktif inilah yang harus dipertahankan. Jauhkan cara pandang yang “menganaktirikan” Aceh dari NKRI. Hal ini – secara empirik – telah membuat warga Aceh menderita secara berkepanjangan, tidak hanya psikis, tapi juga fisik. Tak sedikit nyawa melayang akibat benturan politik ideologis.
Catatan historis yang sanggat kelam itu tak boleh terulang lagi. Demi harkat kemanusiaan. Karena itu tak ada opsi lain bagi Pusat untuk meneguhkan komitmen ideologis pro mempertahankan wilayah. Jika Pusat mengabaikan pertimbangan positif ini, maka kita bisa mencium aroma lain. Yaitu, skenario ingin menciptakan Aceh berpuing-puing. Sasarannya jelas: uranium yang berada di Gunung Lauser – Aceh itu.
Kita tahu, uranium merupakan komponen kimia untuk senjata nuklir yang tak ternilai harganya. Di sisi lain, geopolitik dan geoekonomi, Aceh yang berada di mulut Selat Malaka juga sangat potensial untuk kepentingan transportasi ekonomi dan bisnis antar negara, di samping posisi strategis. Hal ini menambah kedigdayaan Aceh secara topografis, apalagi jika dikaitkan dengan sistem pertahanan nasional.
Jika arahnya memang berusaha menguasai uranium di sana, di samping geostrategis wilayah secara politik, ekonomi dan pertahanan, maka skenario jahat apapun akan dilakukan. Melalui konflik bersaudara yang akan memperlemah sistem pertahanan lokal, hal ini mempermudah cara menguasai wilayah. Dan langkah terencana dan sistimatis ini akan mudah terwujud jika Pusat mau diajak “damai”. Persekongkolan inilah yang harus kita waspadai.
Baca juga: Menerawang Prospektus Amandemen
Berlebihankah membaca peta kemungkinan persekongkolan itu? Tidak. Dalam era globalisme, persekongkolan bagian dari ritme politik praktis antar kepala negara. Meski, persekongkolan itu jelas-jelas merupakan pengkhianatan dan kejahatan besar terhadap negara, namun ketika ia berkuasa, persekongkolan tingkat tinggi itu akan dinilai sebagai sesuatu yang absah. Bahkan, siapapun yang berseberangan dengan kepentingan rezim akan dilihat sebagai lawan politik yang harus dilumpuhkan. Ironis memang. Tapi, itulah kekuasaan mobokratif, yang mengedepankan “laras” ketika warga negara berbeda dan mengkritisinya.
Di sanalah, seluruh komponen bangsa ini, sebagai warga dan daerah Aceh, keluarga besar TNI-Polri sudah selayaknya harus terpanggil manakala terlihat gejala persekongkolan jahat itu. Persekongkolan harus dilihat sebagai cara taktis menggerogoti territorial wilayah. Karena itu manakala rerzim memperlihatkan sinyal ketidaksetujuan perpanjangan otsus Aceh, hal ini bisa dijadikan pintu masuk kecurigaan awal dalam menatap peta politik ke depan terkait Aceh itu.
Sebagai kader Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) yang tetap committed untuk NKRI, maka ssikap politiknya jelas: pertahankan Aceh dengan cara memperpanjang otsus wilayah Aceh. Harus kita catat bersama, kedaulatan negara yang bersumbu pada masing-masing wilayah atau daerah, tak boleh ditawar. Manakala ada sinyal yang menggerogoti kedaulatan wilayah, maka sudah selayaknya kita bahu-membahu untuk sebuah misi utama: keutuhan NKRI, apapun risiko yang harus dihadapi. *
Jakarta, 15 September 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post