Menurut Salomo ada dua hal penyebabnya; pertama, disebabkan oleh kebutuhan akan adanya padanan kata dalam Pilpres saat itu, dimana SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden akan kembali mencalonkan diri; kedua, dia merasa risih karena semua media memakai kata ‘incumbent’ yang merupakan istilah dari bahasa asing; Lantas dia kemudian berpikir apakah kita tidak memiliki padanan kata incumbent tersebut.
Itulah awal mulanya kata Petahana yang merupakan padanan kata incumbent masuk dan mewarnai dalam kosakata bahasa Indonesia.
Dalam UU Pilkada, tidak ada definisi yang jelas dan tegas tentang apa yang dimaksud dengan petahana. Namun istilah petahana diatur dalam PKPU no 3/2017 tentang pencalonan yang telah dirubah beberapa kali (terakhir PKPU no 9/2020). Dimana yang dimaksud dengan petahana adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota yang sedang menjabat.
Dalam konteks pelaksanaan pilkada didaerah ini, ada hal yang sangat menarik untuk dicermati, dimana dalam setiap pelaksanaan Pilkada langsung yang dimulai sejak tahun 2006, sang petahana selalu kurang beruntung dibanding para penantang.
Jika kita memutar kembali memori kita dan mencoba menggeser waktu yang ada untuk menerobos lorong-lorong waktu dimasa silam, maka kita akan menemukan fakta empiris bahwa bukan petahana yang jadi pemenang pada pilkada di tahun 2011 dan 2015. Siapa yang jadi pemenang saat itu, saya kira kita semua sudah tahu akan hal tersebut.
Mengapa sampai demikian? Apakah mungkin ini merupakan bagian dari Mitos yang ada tersebut, atau apakah Mitos berlaku di daerah ini?
Discussion about this post