Jika kita menatap dinamikanya, model atau strategi pemecahan itu terus digunakan. Dari dulu hingga kini, setidaknya dalam enam tahun terakhir. Secara detail, para elitis yang sudah terpapar virus komunisme selalu membenturkan muslim puritan versus muslim sekuler, atau kalangan muslim pragmatis yang haus al-fulus dan kekuasaan dengan anak-bangsa yang lebih mengedepankan kepentingan negara. Virus komunisme itu bukan hanya memunculkan gerakan praksis-infiltratif, tapi hembusan pemikiran destruktif bagi kepentingan umat. Proyek destruksi Islam di mana-mana, termasuk gerakan sistismatis kriminalisasi dan diskriminasi hukum.
Jika kita cermati, gerakan pengacauan pemikiran itu – sejalan dengan existing media komunikasi modern – kian produktif dan relatif tak terkendali, bahkan sering menabrak rambu-rambu hukum. Meski sering memasuki wilayah pencemaran nama baik dan penodaan agama, para aktornya selalu terlindungi secara hukum. Itulah proteksi hukum selama enam tahun terakhir ini yang membuat upaya separatif kalangan komunis semakin tak terkendali.
Kedua, menguasai parlemen. Jauh sebelum tragedi 1965, kalangan komunis selalu support Kabinet Ali Sostroamidjoyo yang memang lebih dekat dengan pandangan kaum komunis, sehingga relatif bertahan, meski banyak gonjang-ganjing. Pasca pemilu 1955, peraih suara keempat terbesar setelah PNI, Masyumi dan NU, PKI makin leluasa dalam mempengaruhi parlemen dan akhirnya terus mempengaruhi kekuasaan Soakarno.
Presiden pertama RI ini – sekali lagi, karena pengaruh para elitis PKI – begitu tega mendzalimi (memenjarakan tanpa proses hukum) para tokoh umat dan nasionalis, termasuk membubarkan HMI dan Partai Masyumi. Dan jauh setelah tragedi 1965, kalangan komunis – setidaknya keluarga besar keturunan PKI – berusaha memasuki partai-partai besar. Arahnya untuk memasuki parlemen dalam jumlah besar. Agar bisa mempengaruhi proses politik di tengah parlemen.
Targetnya bukan hanya sekedar mempengaruhi proses legislasi yang bersentuhan langsung pada kepentingan komunis, tapi juga merancang-bangun produk legislasi yang benar-benar satu nafas dengan komunisme. Hal ini dapat kita saksikan mengapa produk legislasi kian mengarah pada episentrum komunisme. Dalam hal ini kita saksikan desakan pengubahan TAP MPR No. XXV Tahun 1966, mendesak Pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga besar PKI, RUU antagonis seperti RUU HIP/PIP yang jelas-jelas mereduksi Pancasila dan masih banyak desain legislasi yang sejatinya menterjemahkan kepentingan politik komunis.
Jika kita zoom lebih besar, landasan pemikiran RUU HIP/PIP menampak jelas filosofinya. Target utama pembonsaian Pancasila menjadi trisila dan ekasila sesungguhnya merupakan upaya mereduksi bahkan membelokkan pemahaman keyakian kebertuhanan. Agama dilihat dan diyakini sebagai produk budaya. Konsekuensinya, pemahaman ini menggiring persoalan keagamaan ditentukan oleh cara pandang dan sikap manusia.
Jika kita tengok filsafat eksitensialis Friedrich Nietzche, cara pandang keagamaan itu sejatinya meniadakan keberadaan Tuhan (Allah). Karena itu, pandangan pembudayaan agama itu sesungguhnya pandangan atheis. Dan memang, Nietzche terkategori sang pelopor pemikiran atheisme atau nihilisme agama. Pandangan peniadaan Tuhan inilah yang diperjuangkan sejumlah kader partai politik di parlemen, baik sebagai inisiator ataupun komprador dalam bentuk persetujuan RUU HIP/PIP.
Ketiga, menggalang kekuatan pendukung. Strategi awalnya – saat posisi masih lemah – para ideolog komunis itu memposisikan diri di tengah. Tapi, ketika posisinya kuat di berbagai lini (di pemerintahan, TNI, lembaga-lembaga BUMN dan organisasi-organisasi sosial penekan), mereka terus merangsak dengan agitasi terang-terangan. Menantang dan cukup vulgar.
Discussion about this post