Oleh: Farhat Abbas
PASCA kemerdekaan dari cengkeraman kolonial, bangsa dan negeri ini dipimpin seorang diktator Orde Lama dan Orde pelanjutnya. Sama-sama terjadi sentralisasi dalam pengendalian kekuasaan di tangan satu orang. Sementara, sejak Era Reformasi, kekusaaan itu bergeser: tergenggam oleh sejumlah elitis, dalam baju pemerintahan yang terback up kuat institusi keamanan dan penegak hukum, partai politik (parpol) dan dalang di baliknya yang sejatinya menjadi penguasa: cukong. Itulah satuan oligarki politik yang kini menguat dan akan terus mencengkeram pada era mendatang.
Ketika kendali kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru ada dalam genggaman satu orang, kekuatannya langsung rapuh ketika sang diktator teramputasi kekuasaannya. Sebaliknya, kekuataan oligarki jauh lebih berdaya, tak mudah dirapuhkan karena kelompok kecil (terbatas) ini saling menguatkan secara sistemis-sinergis. Hal ini sejalan dengan “selnya” yang kepentingannya saling terkait dan menguatkan antar diri dalam kelompok oligarkis itu. Inilah yang membuat siapapun yang mendambakan sistem tata-kelola kenegaraan yang baik, berdaulat dan menjunjung tinggi hak-hak warga negara merasa perlu untuk menyoroti serius persoalan oligarki politik.
Mengapa? Fakta empirik bicara, sistem oligarki politik benar-benar telah merampas kepentingan banyak pihak: merusak bahkan menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Komponen rakyat terus terpasung hak-haknya, dari yang sangat asasi terkait hak pangan, tempat berpijak (tanah), sampai hak-hak lainnya seperti hak berbicara atau berpendapat. Selaku rakyat, mereka merasakan keterpasungan itu sampai ke akar-akarnya, kecuali para inner circle kekuasaan, simpatisan dan para “pembela” buta kekuasaan seperti kaum buzzerRp. Kaum protarian rezim ini seperti tak tersentuh hukum (the untouchable people), padahal perilaku para buzzerRp dalam bentuk fitnah (penyebaran hoax), suka mengadu-domba benar-benar memecah persatuan bangsa.
Seperti kita ketahui, oligarch – berasal dari kata “oligos” (Bahasa Latin) – yang berarti kecil atau sedikit. Satuan kecil individu ini – dalam perspektif kekuasaan Indonesia – menampak pada legalitas baju partai politik (parpol), institusi strategis kenegaraan dan pebisnis. Mereka semua menyatu dalam kesatuan kekuasaan. Persekongkolan para elitis itu – di satu sisi – membuat produk kebijakan banyak tak sejalan dengan kepentingan rakyat. Di sisi lain, kebijakan itu pun diimplementasikan secara paksa, tanpa menghiraukan nurani rakyat, meski rakyat menjerit, meronta dan berdarah-daerah akibat kebijakan anti rakyat.
Baca juga: Benahi Polri itu Berat, Biar Listyo Saja
Sebagai gambaran nyata untuk Indonesia, kita saksikan perubahan UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan disahkannya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, meski pada akhirnya dianulir. Yang perlu kita catat, perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan oligarki eksekutif dan legislatif. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut. Warna produk kebijakan ini mencerminkan persekongkolan rapi antara dua lembaga: eksekutif dan legislatif di level pusat.
Persekongkolan Legislasi
Sebuah konsekuensi langsung dari revisi UU KPK adalah lembaga anti risywah ini tunduk sepenuhnya kepada Presiden. Hal ini dapat kita cermati pada Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK yang menegaskan, pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Kepala Negara. Hal ini jelas-jelas menempatkan KPK ini tidak independen karena menjadi bagian dari pemerintah. Arah kebijakan operasional KPK sangat tergangtung pada kemauan politik-hukum Pemerintah. Sesukanya, tanpa komitmen yang jelas dan tegas.
Kita saksikan, dalam perjalanannya, pasca UU KPK baru yang disahkan itu, KPK menjadi kian lambat dalam membongkar skandal korupsi-korupsi besar. Hal ini juga dipengaruhi oleh sebuah efek UU KPK yang baru yang mengharuskan lembaga KPK harus minta izin Dewan Pengawas agar bisa melakukan penggeladahan kepada pihak yang terbidik. Proses izin ini – kita saksikan – menjadi hambatan tersendiri dalam upaya menjalankan fungsi dan peran penegakan hukum anti korupsi itu.
Akibatnya, terjadi penurunan kinerja KPK secara signifikan atas penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh penegak hokum anti risywah itu. Selain itu, pada sektor peradilan pun belum menunjukkan perbaikan: rata-rata hukuman bagi terdakwa perkara korupsi sepanjang tahun 2019 hanya berkisar 2 tahun 7 bulan penjara. Yang perlu kita cermati lebih serius, output persekongkolan legislasi itu seperti memperkuat pesan: tetap menjalankan penindakan anti korupsi, tapi membatasi gerak-langkahnya. Ada formula diskriminasi yang sengaja dirancang. Dan arahnya mengamankan para koruptor kelas kakap.
Discussion about this post