Selain Melanggar Hukum, Juga Melanggar Etika Pejabat Publik
Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada dengan jelas terbaca bahwa larangan penggantian pejabat dikecualikan jika mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri (Mendagri). Ironisnya, masih ada sebagaian Bupati yang tidak mengindahkan hal itu. Melangkahi wewenang Menteri ketika menetapkan keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat. Pada hal Mendagri juga telah mensosialisasikan atau menyampaikan Surat Edaran Mendagri No. 273/487/SJ kepada para Bupati se-Indonesia, khusunya kepada Bupati yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020. SE Mendagri itu antara lain menegaskan bahwa penggantian pejabat dilarang terkecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.
Penggantian pejabat yang dilakukan Bupati tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri, sesungguhnya tidak hanya melanggar hukum (Pasal 71 ayat 2), tetapi juga melanggar etika pejabat publik. Penggantian pejabat yang dilakukan Buapti tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri, dapat dikatakan melecehkan peran Bupati. Pejabat yang melantik Bupati yang terpilih dalam Pilkada adalah Mendagri. Sayangnya, belum pernah kita mendengar suara Mendagri yang menegur keras Bupati karena melangkahi kewenangan Mendagri dalam hal penggantian pejabat.
Akhirnya, kembali ke pertanyaan awal, apakah keputusan pembatalan terhadap penggantian pejabat (keputusan lama) dapat menghapus kesalahan atau pelanggaran (Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada? Standing academic penulis adalah tidak menghapus pelanggaran yang sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana keputusan KPU di berbagai daerah yang menghadapi kasus pelanggaran Pasal 71 ayat (2) pada Pilkada Serentak 2020, kita tunggu tanggal mainnya pada tanggal 23 September 2020. Apakah akan merujuk pada pengalaman di Kota Kupang atau pengalaman di Kabupaten Boalemo? Wallahu a’lam. *
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UNTAD
Discussion about this post