Oleh: Muhadam Labolo
DAMPAK polarisasi politik pasca pesta demokrasi di hampir semua level melahirkan kecemasan. Pilpres meninggalkan kaum _cebongers_ dan _kampreters._ Dua kelompok warganet itu hanya sepi saat terminologi _kadrun_ (kadal gurun) muncul mendominasi ruang media sosial kekinian.
Catatan Fahmi Ismail pada instagram (13 Agustus 2020) menunjukkan secara statistika sepanjang 2019 penyebutan _cebong_ mencapai 2,58 juta mention, _kampret_ sebanyak 2,43 juta, dan _kadrun_ sebesar 1,88 juta. Pada Juli-Agustus 2020, stigma _kadrun_ mencapai 155 mention melampaui _cebong_ sebanyak 49k dan _kampret_ 71k.
Polarisasi politik pasca pilkada juga memproduk pembelahan. Memang pembelahan itu tak sekental Pilpres, namun yang paling menikmati adalah birokrasi. Akhir pesta demokrasi di daerah suka tak suka melahirkan kelompok tim sukses versus bukan tim sukses. Kelompok _abstain_ masuk kategori non tim sukses. Efek pembelahan itu mencipta politik _balas budi_ dan _balas dendam._
Polarisasi di level pilkades juga tak sepi dari pembelahan. Setidaknya terbentuk kelompok dinasti versus non dinasti. Bisa dimaklumi, semakin ke desa semakin homogen sehingga relasi antara calon pemimpin dengan basis pemilih semakin terikat secara emosional-kekeluargaan. Di kota sebaliknya, semakin heterogen dan karenanya bersifat rasional.
Persoalannya, apakah dampak polarisasi politik itu bagi kualitas demokrasi dan keamanan negara? Strategi apakah yang mesti di desain agar ekses polarisasi politik tak menambah tekanan psikologi bagi eksistensi negara di tengah rupa-rupa masalah yang kian menanjak?
Riset EIU (2020) menyimpulkan demokrasi Indonesia belum sempurna dengan skor 6,48 terendah dalam 14 tahun terakhir _(flawed democracy)._ Demikian pula raport _Freedom House_ (2019) yang menyatakan demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dalam 10 tahun terakhir. Satu-satunya yang sedikit menggembirakan adalah rilis IDEA (2019) yang memberi sentimen positif di _middle range_ (0,4-0,7) pasca Pilpres dan Pilkada.
Memperhatikan riset eksternal di atas tentu tak begitu menggembirakan. Bila merujuk pada catatan internal BPS (2020), kualitas demokrasi kita sepanjang 2017-2019 berada di skor 74,92 yang berarti sedang. Artinya ada peningkatan walau tak signifikan. Setidaknya terdapat beberapa daerah dengan kategori indeks demokrasi baik, seperti Jogjakarta, Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara.
Dampak polarisasi politik dalam faktanya tak selalu memicu aib memalukan. Penelitian Wilson (2012) dan Abramowitz (2010) dalam kasus Pilpres di Amerika memperlihatkan bagaimana polarisasi politik justru mendorong fanatisme pemilih untuk datang ke TPS. Hasilnya, angka partisipasi politik di Amerika meningkat tajam mencapai 65%, tertinggi sepanjang sejarah.
Realitas di atas setidaknya memberi kita kesadaran mengapa angka partisipasi politik pada Pilpres 2019 mencapai 77% melampaui target RPJMN yang hanya 75%. Demikian pula lonjakan partisipasi politik pada Pilkada 2020 yang mencapai 76,13% sekalipun berlangsung di tengah ancaman pandemi covid 19 (KPU, 2020). Tidakkah _trend_ itu dipicu oleh sentimen kaum _cebongers, kampreters,_ dan _kadruners?_
Pertanyaan selanjutnya, apakah kualitas demokrasi hanya di ukur dari aspek kuantifikasi jumlah kepala di TPS serta lewat pertempuran caci dan maki dalam _frame_ ujaran kebencian _(hatespeech)?_ Konsekuensinya legitimasi demokrasi seperti mengalami cacat di proses, walau diterima secara kuantitatif di depan lembaga penghitung suara.
Bila setiap pemilih, sukma dan imajinasinya disuguhi oleh tekanan psikologis akibat pergumulan _cebong_ versus _kampret,_ balas budi versus balas dendam, serta dinasti versus non dinasti, akumulasi kekecewaan dan frustasi itu bukan mustahil membentuk sikap ketidakpercayaan pada sistem politik _(apatisme),_ pembangkangan sipil _(civil obediance),_ serta meningkat pada skala konflik laten dan terbuka _(manifest)._ Disini polarisasi politik menemukan ekses negatifnya yang dapat mengancam stabilitas keamanan negara.
Sejauh polarisasi politik dapat dikendalikan oleh elite dengan membuang _trick_ politik identitas di ruang publik tentu tak ada yang perlu dicemaskan. Tapi ketika politik identitas tadi bertemu dengan kebohongan _(hoax)_ yang di produk oleh para pendengung _(buzzer)_ dalam dunia digital, ruang publik jelas tercemar toksin yang cepat atau lambat menebalkan kesumat untuk saling berhadapan-hadapan _(face to face)._
Di ranah kebijakan jangka panjang, tak haram hukumnya jika kita pikirkan kembali perubahan mekanisme demokrasi yang bersifat asimetrik jika tak seluruhnya bersifat tak langsung _(indirect election)._ Mekanisme tak langsung dengan sendirinya akan mengurangi keterlibatan pemilih baik emosi, pikiran dan representasi. Tentu bukan tanpa konsekuensi. Tapi bukankah untuk urusan keamanan negara kita selalu getol dengan slogan _solus populi supreme lex?_
Mekanisme ini dengan sendirinya dapat mengurangi potensi konflik akibat polarisasi politik. Konflik cukup diwakili oleh elit di pusaran kekuasaan, bukan _cebong, kampret,_ dan _kadrun_ yang nihil gagasan dan mendominasi wajah perpolitikan dunia maya. Sejauh ini jelas percakapan wakil rakyat di substitusi dan di _bypass_ oleh ketiga mahluk alien ruang angkasa. Dengan mekanisme itu pula penyelesaian dampak sosialnya lebih efisien dan efektif, selain memudahkan integrasi sosial.
Bagi wakil rakyat dan partai, peluang ini setidaknya dapat mengembalikan marwahnya yang sejauh ini dianggap telah mati oleh konstituen. Termasuk partai pemenang yang dinilai minim agregasi dan sepi artikulasi. Dua kritik yang mungkin akan dihadapi adalah demokrasi dianggap _set back_ dan pada aras pragmatis hilangnya mata pencaharian para surveyer elektabilitas, _cukong,_ tim sukses, serta penjual atribut kampanye di Tanah Abang. Namun apalah arti semua itu jika dibanding masa depan negara.
Pada ruang sosial digital, penting dipikirkan bagaimana menatar barisan _cebongers, kampreters_ dan _kadrun_ agar tak nihil ide dan produktif menjadi integrator. Kesulitan terbesar kita tentu mendeteksi eksistensi mereka yang maya. Tapi bukankah para elite dapat memanfaatkan sejumlah pesohor digital seperti Atta Halilintar sebagai _pseudo government_ guna mengendalikan ruang publik. Jika _buzzer_ di klaim sebagai aset, bukankah bijak jika dari mereka dilakukan _deradikalisasi_ atas dampak polarisasi politik menuju kohesi sosial.
Upaya lain tentu dilakukan. Misalnya penegakkan hukum seraya memperjelas instrumen yang dapat dipakai sebagai alat bantu, bukan alat pukul atas kritik yang bersifat konstruktif. Inilah cara kita merawat demokrasi di tengah tekanan sistem politik dan idiologi lain yang coba dipaksa-tawarkan. Tapi seperti kata Pemimpin Rusia Vladimir Putin (2018), apapun kekurangannya, sejauh ini belum ada sistem yang lebih unggul dari demokrasi. *
Baca juga: Hilangnya Peran _Middle Class ?
(Penulis Adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post