Satu hal yang tidak disadari, pilpres yang hanya diusung parpol dan atau gabungan parpol serta pemberlakuan ketentuan PT 20% itu berdampak serius bagi tata-kelola pemerintahan ke depannya. Seperti kita tahu, dampak langsung dari pemberlakukan Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 dan PT 20% itu menguatnya sistem oligarki, dalam baju parpol ataupun cukong. Kekuatan oligarki parpol besar – di satu sisi – menjadikan ketidakberdayaan partai-partai kecil atau partai baru. Mereka – suka atau tidak suka – harus tunduk pada kemauan partai besar. Partai kecil hanya menjadi follower, yang tentu tak akan pernah berfungsi maksimal ketika harus menyuarakan aspirasi rakyat yang notabene pendukungnya. Parpol kecil hanya “pelengkap” atau asesoris dalam sistem demokrasi. Penggembira.
Di sisi lain, barisan nonparpol pun – sekalipun ia sangat mumpuni, cerdas, penuh dedikasi dan berintegritas tinggi serta tak diragukan lagi akhlak mulianya, ia pun – kalua ingin nyapres – harus memohon-mohon kepada partai. Implikasinya, siapapun yang nyapres, dari unsur parpol kecil ataupun nonparpol, ketika ia jadi sebagai presiden, ia akan selalu dibebani politik kompendasional. Yang pasti akan terjadi adalah berbagi kekuasaan pada kabinet. Sang presiden baru wajib hukumnya memberikan jatah kepada parpol pengusung. Dan lebih jauh dari itu adalah kendali partai pengusung, sehingga sang presiden terus dibayang-bayangi kekuatan oligarki parpol.
Baca juga: Ironi Kalimantan Terlanda Banjir
Lebih menyeramkan lagi ketika oligarki itu dari elemen cukong. Jika kita cermati ketentuan PT yang memberatkan itu, di sana kita saksikan satu sisi krusial. Yaitu, para cukong – atas dasar prinsip bisnisnya – berkepentingan untuk menekan biaya politik. Dengan semakin terbatasnya jumlah kontestan pasangan capres – maksimal dua pasang capres-cawapres – maka, para cukong bisa membaca dengan mudah mana yang harus diback up secara all out, tidak hanya financing, tapi sejumlah manuver kekuatan strategisnya, termasuk pengerahan keamanan di lapangan, di lini lembaga penyelenggara pemilu bahkan lembaga hukum seperti MK.
Topografi kontestasi pilpres yang kian sempit itu mempermudah gerakan kalangan cukong. Hal ini membuat proyeksi bisa tergambar jelas. Dan satu hal yang mendasar: peta kemenangan sudah dapat diprediksi dari awal. Dari proyeksi kemenangan inilah, maka sketsa kepentingan bisnisnya sudah bisa dipersiapkan secara paralel. Inilah strategi oligarki cukong dalam panggung pilpres.
Strategi itu – dalam etape berikutnya – adalah bagaimana memasukkan sejumlah kepentingan bisnisnya. Bersifat langsung pada megaproyeknya yang beratas nama pembangunan sebagaimana janji politiknya, bisa juga bentuk lain, termasuk ranah perundang-undangan, hukum dan lainnya. Bahkan, sampai ke persoalan sistem pertahanan negara pun “diborong”. Harus tunduk pada kemauan para bohir itu.
Dengan sadar dan jernih serta penuh nurani, kita saksikan dengan kasat mata, “pemborongan” seluruh aspek pembangunan fisik dan mental telah mengakibatkan kepentingan anak bangsa dan negeri ini tergadai. Seluruh sepak terjang cukong, dari dalam negeri atau pendatang dari negeri asing benar-benar dilindungi secara politik, hukum dan bahkan keamanan. Hal ini – dalam sisi lain – telah menggerakkan kerusakan secara sistimatis, dalam tataran lingkungan yang kini kian menuai reaksi alam dalam bentuk bencana, tata-kelola pemerintahan yang kian tidak efektif, benturan sosial dimana rakyat yang sejatinya cinta Tanah Air selalu dipandang sebagai musuh negara.
Dari panorama kehancuran sistem yang tampak terencana itu, Partai Negeri Daulat (PANDAI) melihat kausa primanya. Negeri kita yang mengalami proses demokratisasi sejak era reformasi ini, justru diacak-acak oleh parpol yang kini lagi berjaya. Dalam sistem demokrasi, parpol merupakan pilar penting dalam demokrasi yang sehat dan berkualitas. Tapi, dalam kasus Indonesia, justru peran parpol sebaliknya: menjadi the destroyer. Untuk saat ini dan berdampak jauh ke depan bagi negeri ini dan bangsanya. Perilaku politik parpol seperti ini menjadi beban moral bagi warga negara yang masih terpanggil untuk memberikan yang terbaik melalui saluran partai politik.
Partai politik besar kini benar-benar telah membajak demokrasi yang kita bangun dengan berdarah-daerah, korban nyawa, harta dan lain-lain. Dan pembajakan itu kian menguat sejalan dengan “perselingkuhannya” dengan para cukong yang sangat pragmatis. Parpol sadar bahwa perselingkuhannya membawa petaka karena kaum cukong punya grand design yang wow, tapi forget it. Emang, gue pikirin. Sebuah renungan, apakan pembajakan itu akan terbiarkan untuk selamanya, sampai negeri ini menjadi puing-puing runtuh? Hanya kaum anti NKRI yang rela membiarkannya. Hanya saudara setanah air yang bermental kolonialis yang antusias bekerjasama untuk misi besar kehancuran negeri ini. Dan akhirnya harus kita tegaskan, hanya manusia-manusia yang tidak berakal sehat yang senyum-ceria menonton gerakan penghancuran negerinya sendiri. *
Jakarta, 16 Desember 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post