Permintaan Faisal lagi agar polisi membebaskan 3 oknum pengurus sebuah koperasi TKBM di Pelabuhan Tangkian dalam kasus dugaan pungli dan premanisme dengan pengancaman.
Beralasan jika mereka hanya menagih upah berdasarkan OPP/OPT 2017, juga dinilai berkat ketidaktahuannya terkait regulasi kepelabuhanan yang ada.
Sehingga pernyataan Faisal Lalimu seolah-olah memojokkan tugas Kepolisian dalam pemberantasan pungli dan premanisme, khususnya di areal pelabuhan.
Kesepakatan atas revisi OPP/OPT selama 1 bulan atas permintaan pihak perusahaan dan disetujui Bupati Banggai, sebagai pihak yang tidak berwenang dalam penyusunan dokumennya, Faisal juga dikatakan tak berhak memberi komentar soal itu. Ketika dirinya mengatakan seharusnya OPP/OPT disusun 2 minggu.
Hal itu dikarenakan telah disepakati bersama antara Bupati dan APBMI terkait waktu penyusunan revisi. Permintaan untuk dilakukan kajian ilmiah melibatkan ahli di tengah pandemi ini cukup menjadi kendala. Namun dipastikan 9 Agustus ini kajian para ahli itu telah didapatkan.
Dan penilaian lainnya oleh Faisal Lalimu, yang mengatakan jika upah buruh di Kabupaten Banggai saat ini sudah tidak memenuhi standar UMK, adalah sebuah ketidaktahuan lainnya.
Karena selain upah buruh TKBM di Kabupaten Banggai hingga saat ini masih menjadi salah satu tertinggi di Indonesia, jumlah anggota buruh di sebuah koperasi TKBM tidak dapat dikontrol baik oleh para pengurusnya.
Capai ratusan orang untuk pekerjaan di pelabuhan yang semakin menurun.
Dalam regulasi, upah buruh TKBM hanya mencakup maksimal 36 orang per pekerjaan bongkar muat di pelabuhan.
“Ketika Faisal berbicara soal tanggung jawab Disnaker, di sini jelas minim dalam fungsi pengawasannya.
“Mengundang orang atau organisasi yang sudah expire. Bisa disimpulkan Disnaker malah tak maksimal mengatur soal buruh,” tandas Rahman Ramimu.
(*/jy/lp)
Discussion about this post