DKISP Kabupaten Banggai

Opini

Santakalan yang Perkasa (Sebuah Legenda Tano Sampaka)

1373
×

Santakalan yang Perkasa (Sebuah Legenda Tano Sampaka)

Sebarkan artikel ini
Desa Sampaka terletak di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai. Desa ini menyimpan cerita legenda terkait asal-usulnya. (Foto: Istimewa)

Penulis: Munawir Kunjae, Penutur: Haman Kunjae & Iyam Saluki

DIKISAHKAN, pada zaman dahulu kala lahirlah seorang pemuda bernama Santakalan. Pemuda yang lahir di tengah-tengah keluarga miskin ini memiliki kemampuan lebih dimana dia memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan manusia pada umumnya.

Sayangnya, ia memiliki tabiat yang kebanyakan orang tidak menyukainya, termasuk orang tuanya sendiri. Santakalan suka makan yang banyak, saking banyaknya sampai persediaan makan untuk mereka sekeluargapun tidak cukup jika dibandingkan dengan selera makan santakalan ini. Sering juga kedua orangtua nya pun tidak kebagian makanan.

Konon kalau ibunda santakalan memasak nasi 1 dandang, dan di sajikan makanan itu kepadanya, makanan sebanyak itu pun habis langsung di lahapnya. begitu seterusnya jika ibunya memasakinya.

Mengetahui tabiat anaknya itu, ayah Santakalan pun geram dan mulai mencari cara agar dapat membunuh anaknya itu.

Sehingga pada suatu hari, sang ayah mengajak Santakalan untuk mencari kayu buat poyang (tungku). Setiba ditempat yang sudah direncanakan, sang ayah menyuruh Santakalan duduk tepat dikemiringan dimana ia akan menebang kayu besar dari gunung dengan harapan menimpa santakalan dan membuatnya mati.

Usai melakukan tugasnya itu sang ayah pun bergegas pulang ke pondoknya, di sana sang ibu sudah menanti. Sang ibu lalu bertanya kepada suaminya; Mana Santakalan ? Sang ayah pun menjawab : Sudah kutimpahkan dengan kayu besar, dia sudah mati.

Baca:  Tangani Dugaan Penyelewengan Dana Hibah Karang Taruna, Kejari Buat Tim

Tak berselang lama kemudian sang ayah dan sang ibu, kaget ketika melihat Santakalan, pemuda yang lugu namun memiliki kekuatan yang luar biasa, terlihat dari kejauhan sedang memikul pohon besar yang tadi ditimpakan kepadannya dan langsung menjatuhkan pohon itu dari pungungnya di samping pondok.

Santakalan lalu berkata : Ayah ini pohon untuk tungku yang ayah sebutkan tadi. Sang ayah dan ibu pun serasa tak percaya, mereka mengira Santakalan sudah mati tertimpa pohon yang ditebang ayahnya, tetapi sebaliknya ia malah mengangkat pohon itu lalu membawa ke pondok.

Tidak berhasil dengan cara pertama, sang ayah dilain kesempatan kemudian mengajak Santakalan lagi untuk mengambil batu buat tolukun (tungku).

Sesampainya di tempat yang sudah di rencanakan, Santakalan di suruh duduk untuk istrahat sembari menunggu ayahnya menggulingkan batu besar untuk menimpa dirinya.

Santakalan dengan keluguannya kembali menuruti perintah ay duduk menunggu sang ayah. Pada kesempatan yang sama, sang ayah sedang berupaya sekuat tenaga menggulingkan batu besar yang tepat berada diatas kemiringan dimana Santakalan duduk, dengan harapan batu itu bisa menimpa anaknya santakalan sehingga ia dapat dipastikan mati.

Usai melaksanakan niatnya itu, sang ayah pun langsung kembali ke pondok, sesampainya ia di pondok sang istri yang tak lain adalah ibu dari Santakalan pun bertanya. Mana Santakalan ? Sang ayah menjawab lagi ia sudah mati karena sudah kutimpa dengn batu besar tadi dikemiringan bukit.

Baca:  3.236 Atlet Berkompetisi di Porprov IX Sulteng Kabupaten Banggai

Namun kemudian apa yang terjadi ? Tak berselang berapa lama, Santakalan pun terlihat oleh mereka dari kejauhan sedang memikul batu besar yang tadi ditimpakan kepadanya.

Sesampainya dipondok, ia menjatuhkan batu itu disamping pondok merekaalu ia berkata ayah ini sudah kubawakan batu buat tungku yang ayah dan ibu inginkan. Sang ayah dah ibupun kaget bukan kepalang.

Bagaimana tidak, betapa kuatnya Santakalan sehingga sulit untuk di bunuh. Akhirnya, kedua pasangan suami isteri itu kehilangan akal untuk mèmbunuh Santakalan yang tidak lain dan tidak bukan merupakan anak mereka sendiri.

Lambat laun, akhirnya Santakalan mulai menyadari maksud buruk kedua orang tuanya. Ia merasakan sedih yang mendalam dan secara diam-diam mulai mengambil pakaiannya dan sebilah pedang besar miliknya lalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya, mengelana tak tau arah entah kemana.

Disepanjang perjalan ia terus merenungi nasibnya, sekaligus harus menerima kenyataan bahwa kedua orangtuanya tidak lagi menganggapnya sebagai anak bahkan berniat untuk membunuhnya.

error: Content is protected !!