DKISP Kabupaten Banggai

Opini

TNI Dalam Pusaran Kepentingan Nasional-Global

192
×

TNI Dalam Pusaran Kepentingan Nasional-Global

Sebarkan artikel ini

Oleh: Farhat Abbas

Diperhadapkan tantangan dilematis. Tapi, diperlukan solusi tepat: tetap menjalankan peran stabilisator, tapi tak keluar dari identitasnya sebagai “anak kandung” rakyat. Itulah keberadaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di tengah era demokrasi Indonesia saat ini, di samping tuntutan dunia global yang bersifat transnasionalistik. Sebuah renungan mendasar, bagaimana TNI harus bersikap jelas dan tegas dalam pusaran kepentingan nasional dan global? Keliru mengambil kebijakan, TNI akan kehilangan jatidirinya sebagai institusi – yang secara historis – menjadi garda terdepan untuk menjaga kedaulatan negara yang kemerdekaannya diraih penuh pengorbanan jiwa dan raga, bukan hadiah.

Seperti kita ketahui, dalam era demokrasi ini dinamika dalam negeri penuh warna. Dalam kaitan ideologi, para pendiri negara telah merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Bersifat final. Namun, sudah sekian lama (sejak masa-masa awal kemerdekaan), Pancasila dirongrong. Terdapat banyak komponen bangsa seperti dari barisan DI/TII dan PKI berusaha mengganti ideologi yang telah dirumuskan dan dibacakan di hadapan konstituante pada 18 Agustus 1945 itu berusaha diubah secara makar. Dan belum lama ini pun – melalui RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) dan – karena ada resistensi kuat dari masyarakat luas berubah menjadi PIP (pedoman Ideologi Pancasila) – Pancasila diutak-atik: menjadi trisila dan akhirnya kea rah ekasila.

Dinamika tersebut menjadi tantangan yang tidak ringan. Sebab, di antara aktor penggeraknya merupakan komponen yang berkuasa, baik di lembaga parlemen ataupun lembaga eksekutif, secara langsung atau tidak langsung. Sementara, TNI merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang – secara fungsional – harus menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah, meski TNI bukan alat kekuasaan. Hal ini – tak bisa dipungkiri – TNI diperhadapkan dilema. Di satu sisi, sebagai Sapta Margais sejati, Pancasila harga mati dan tak bisa lagi digantikan dengan nafas manapun. Dan siapapun yang berusaha mengganti dasar negara Pancasila  berarti harus berhadapan dengan TNI. Di sisi lain, di samping harus menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah, TNI juga tetap harus mewujudkan stabilitas dengan tidak melukai nurani rakyat.

Baca:  Menyoal Etika dan Moral Pemerintahan Bupati Amirudin (4)

Menghadapi dilema itu, TNI tak boleh bergeser dari doktrinnya sebagai penjaga dan pemelihara kedaulatan negara. Sementara, keberlangsungan Pancasila bagian dari keputusan politik-idelogis yang terkait langsung dengan kelangsungan entitas negeri ini, sekaligus arah perjalanan negara saat ini dan ke depan. Karena itu, mempertahankan dan memastikan Pancasila di negeri ini menjadi komitmen atau tekad yang tak bisa ditawar-tawar.

Artinya, jika sebuah pemerintahan – karena dukungan organ partai politik atau lainnya yang cenderung berpihak pada pengubahan apalagi penggantian Pancasila – maka, apa boleh buat: demi jatidiri yang harus ditegakkan, TNI harus berseberangan. Bukan mbalelo kepada sebuah rezim, tapi justru kesetiannya kepada negara. Sesuai amanat konstitusi. Bahkan, sejalan dengan panggilan sajarah. Catatan hostoris ini telah dibuktikan dengan penuh dedikatif semasa Orde Lama yang penuh gejolak politik-ideologis itu. Catatan historis ini pun harusnya dijadikan banch mark untuk diikuti, meski beda era, yakni demokrasi dan karenanya beda pendekatan untuk menghadapinya.

Ketika landasannya konstitusional, maka gerak TNI akan selalu mendapat dukungan rakyat secara meluas. Tidaklah berlebihan jika sikap ideologis TNI seperti itu, dinilai sejalan dengan politik rakyat. Kebersatuan TNI – Rakyat menjadikan institusi TNI akan selamanya kuat (powerful), disegani dalam dan luar negeri, penuh wibawa dan dielu-elukan seluruh elemen bangsa, di manapun dirinya berada.

Sementara, di tengah era demokratisasi yang kini kian menguat, TNI juga diperhadapkan dinamika politik, yang kadang cukup menajam. Dinamika politik akibat pemilihan presiden-wakil presiden atau kepala daerah misalnya, semua itu sering mengakibatkan suhu politik memuncak. Tak bisa dipungkiri, dinamika itu – jika tak dikendalikan – berpotensi mengakibatkan masalah serius bagi stabilitas nasional.

Dalam kaitan itu – menurut UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia – TNI haruslah netral atas hajat bangsa. Namun demikian, TNI berkepentingan untuk menjaga stabilitas negara. Ketika sebagian komponen beraksi secara demonstratif, hal itu harus dilihat oleh TNI sebagai konsekuensi demokrasi yang dinamis. Cara pandang dan sikap demokratis akan mengerem diri bagi TNI untuk tidak mencampuri urusan politik praktis rakyat yang jelas-jelas punya hak dan dijamin UUD NRI 1945, Pasal 28.

Baca:  KEKUASAAN Versus KEADILAN

Di lapangan, cara pandang dan sikap demokratis itu sering berbeda. Tak sedikit, elemen TNI “tergoda” dalam berpihak. Di antara mereka keliru menterjemahkan dan mengaplikasikan fungsi dan peran TNI sebagai alat negara dibanding alat kekuasaan. Ketika keliru menterjemahkan dana tau mengaplikasikannya cenderung menjadi alat kekuasaan, rakyat terdorong “menggugat”. Arahnya nyinyir, karena seolah TNI lupa jatidirinya: dari, oleh dan untuk rakyat. Ketika penerjemahannya kian jauh, maka sejatinya TNI kehilangan mitra strategis sebagai kesatuan kekuatan. Berkaca pada sejarah, rakyat menjadi penopang mitra kekuatan strategis TNI, terutama dalam medan tempur. Inilah realitas keterikatan emosional TNI-Rakyat yang tak boleh dipisahkan.

Itulah tantangan dalam menghadapi realitas dinamika anak bangsa. Hal ini mendorong petinggi TNI di berbagai level untuk tetap pegang teguh Sapta Marga dan peran doktrinal bahwa stabilitas negara merupakan kondisi yang harus dipertahankan. Justru, dengan netralitas yang diperlihatkan, TNI akan menjadi pendulum bagi rakyat untuk mengurangi agresivitasnya dalam melancarkan aksi kekecewaan.

Panorama netral itu sering diperlihatkan ketika rakyat harus berhadapan dengan elemen kepolisian yang – di mata rakyat – sering gagal dalam menunjukkan netralitas. Ketika TNI mencegah “brutalisme” kepolisian, di sana kita saksikan bagaimana rakyat bukan hanya berterima kasih, tapi benar-benar menghormati peran politik TNI di tengah suhu politik yang memanas itu. Karena itu, politik TNI yang harus diperkuat adalah memperkuat tekad dan komitmen netralitasnya di tengah pusaran kepentingan politik bangsa. Hal ini mendorong elemen TNI untuk menempa diri bagaimana membangun pengendalian diri. Kematangan mental seperti ini haruslah ditopang dengan beragam kebijakan pendidikan dan pelatihan, sehingga akan bertindak efektif saat di lapangan.

error: Content is protected !!