SAAT ini publik dihebohkan dengan adanya putusan Mk yang terkesan bernafsu cepat memutuskan perkara permohonan uji material tentang batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam hal ini, MK telah mengabulkan syarat capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
“Menyatakan pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pemah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,” terang ketua MK Anwar Usman saat membaca putusan.
Akibat dari putusan yang dibacakan ketua MK lantas menuai respon negatif berbagai kalangan, mulai dari praktisi, akedimisi sampai ke masyarakat yang berasumsi putusan tersebut di anggap memuluskan politik dinasti Gibran anak presiden Jokowi menjadi bakal cawapres untuk pilpres 2024.
Terlepas dari problematika putusan mk terhadap permohonan uji material tentang batas usia capres-cawapres Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, hal yang menjadi sorotan untuk kita kaji kembali adalah tentang bagaimana penilaian atau standar baku dalam menseleksi hakim konstitusi secara transaparan, partisipatif, objektif dan akuntabel sehingga melahirkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan menjaga Marwah Lembaga mahkamah konstitusi.
Jika kita melihat kebelakang dengan adanya kasus besar yang menimpa dua mantan hakim Mahkamah Konstitusi baik kasus Akil Mochtar suap dalam penanganan sengketa pilkada di Pengadilan Tipikor pada tahun 2014 divonis hukuman penjara seumur hidup sesuai dengan tuntutan jaksa dan Patrialis Akbar terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan korupsi pada tahun 2017 perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait permohonan uji materi UU no 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan ditambah lagi dengan adanya putusan MK yang terkesan bernafsu cepat memutuskan perkara permohonan uji material tentang batas usia capres-cawapres pilpres 2024 memperlihatkan ke publik bahwa saat ini Lembaga mahkamah konstitusi bukan lagi sebagai Lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) melainkan sudah menjadi Lembaga yang mengedepankan dan mengawal kepentingan pribadi.
Jika mengacu pada Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Berbagai kalangan menyoroti putusan ketua MK yang seolah tidak mengedapankan nilai-nilai Mk sebagai lemabang yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal konstitusi dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayom hukum, kepastian dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi didesain untuk melaksanakan fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution); pelindung hak asasi manusia dan hak konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s contitutionai rights); penafsir akhir konstitusi (the soul and the highest interpreter of constitution); pengawal demokrasi (the guardian of democracy). Empat fungsi MK tersebut tercermin dalam 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban yang dimilikinya, yaitu:
1). Menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar;
2). Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar
3). Memutus pembubaran partai politik
4). Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
5). Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar.
Jika melihat fungsi dan kewenangan Mahkamah konstitusi yang begitu besar dan mulia, maka tentu perekrutan hakim Mahkamah Konstitusi harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang hukum tata negara dan konstitusi, serta memiliki integritas yang sangat kuat.
Hakim sebagai pelaku utama badan peradilan, maka peranan hakim memerlukan tanggung jawab tinggi, sehingga putusan hakim yang diucapkan wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada masyarakat, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang maha esa.
Kompetensi dan kapasitas hakim MK menjadi sangat penting dikarenakan hakim MK memiliki kewenangan dalam menguji konstitusionalitas dari sebuah undang-undang baik secara formil maupun secara materil, menafsirkan kewenangan konstitusional dari lembaga negara yang bersengketa.
Selain kapasitas dan kompetensi tersebut, integritas hakim MK juga merupakan aspek yang sangat penting dimiliki oleh hakim MK, hal ini dikarenakan sifat putusan MK yang bersifat terakhir dan mengikat, akan mengundang pihak yang berperkara untuk memengaruhi putusan hakim MK baik melalui gratifikasi uang dan modus operandi lainnnya.
Selain itu, kepentingan politik yang mengitari dan selalu mengintai MK dikarenakan kewenangan yang dimiliki juga berkaitan dengan aspek politik seperti pembubaran partai politik, kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum presiden dan wakil presiden begitu mengindikasikan bahwa kepentingan politik senantiasa mengintai penegakan hukum konstitusi di MK.
Oleh karenanya integritas hakim menjadi bagian yang sangat penting untuk diwujudkan.
Discussion about this post