Kooptasi politik dalam dunia peradilan khususnya pemilihan hakim mesti diakhiri yang tujuannya adalah menghindari intervensi kepentingan lembaga pengusul kepada hakim konstitusi.
Kelemahan sistem rekrutmen hakim konstitusi adalah terdapat disparitas mekanisme pemilihan yang berbeda sehingga menimbulkan variasi integritas hakim konstitusi yang beragam pula.
Kecenderungan memilih hakim konstitusi yang dipilih berdasarkan kapasitas dan kapabilitas sesuai selera masing-masing cabang kekuasaan justru memperlihatkan kualitas hakim yang tidak relevan dengan semangat institusi sebagai the guardian of the constitution.
Patut disadari bahwa Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang yang bebas kepada presiden, DPR dan MA untuk membuat sistem rekrutmen Hakim Konstitusi, sehingga dengan sendirinya pola rekrutmen yang diciptakan terlihat sangat kontras.
Unsur subjektivitas oleh Presiden, mekanisme voting oleh DPR dan sistem tertutup yang dilakukan oleh MA menjadi 3 model rekrutmen hakim konstitusi yang telah dilakukan selama ini.
Celakanya, produk dari sistem tersebut mengalami permasalahan yang kompleks di tengah berjalannya periodisasi kepemimpinan Hakim Konstitusi.
Walaupun ketiga model sistem rekrutmen Hakim Konstitusi tidak mutlak berpengaruh pada integritas hakim, namun setidaknya terdapat standarisasi pola perekrutan Hakim Konstitusi yang kompatibel tanpa mengurangi kewenangan presiden, DPR, dan MA yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Merujuk pada problematika seleksi hakim konstitusi yang telah diuraikan diatas, urgensi revisi UU MK terkait pola rekrutmen hakim MK harus segera menjadi Ius constituendum sebagai langkah untuk penegakan hukum yang berorientasi pada nilai-nilai konstitusi dan bebas dari intervensi pihak manapun.
Maka dalam hal ini perlu dirumuskan pola rekrutmen baru sebagai pembaharuan hukum, menurut hemat penulis.
Model Rekrutmen dan Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan Panel Seleksi baik oleh Lembaga Masing-masing Pengusul Hakim Konstitusi ataupun Panel seleksi dalam bentuk Kesepakatan bersama Lembaga Pengusul Hakim Konstitusi.
Gagasan proses rekrutmen Calon Hakim MK:
Harus memberikan ruang mutlak bagi Lembaga Komisi Yudisial.
Kita tau bahwa KY merupakan lembaga independen yang berwenang mengusulkan hakim agung.
Dalam hal ini lembaga KY harus diberikan ruang yang bukan hanya berfokus pada perekrutan hakim agung tetapi juga KY perlu dilibatkan dalam menseleksi Hakim MK.
KY sebagai lembaga pengusung membentuk tim seleksi atau semacam panel seleksi.
Tim panel seleksi ini terdiri dari masing-masing komposisi yaitu 1 orang mantan hakim konstitiusi, para pakar/guru besar hukum tata negara, perwakilan masyarakat dan masing-masing Lembaga pengusul (Presiden, MA dan DPR membentuk tim panel, sebagai perwakilan Lembaga dengan meunjuk tim pakar/ahli hukum).
Dengan pola rekrutmen yang melibatkan berbagai pihak diharapkan mampu bisa saling mengawasi dan mengimbangi (Check and balance).
Pengumuman serta proses rekrutmen hingga penetapan komposisi Panel seleksi haruslah dipublikasikan dimedia massa baik cetak maupun elektronik sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengikuti proses rekrutmen calon hakim Mahkamah Konstitusi sedari awal pembentukan Panel seleksi yang akan menyeleksi calon Hakim Konstitusi tersebut.
Proses rekrutmen dengan menggunakan panel seleksi yang jelas dan baku merupakan pemenuhan terhadap prinsip utama dalam pengisian jabatan hakim konstitusi yang diamantkan oleh Undang-undang Dasar dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi yakni akuntabel (proses serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan), partisipatif (adanya keikutsertaan publik proses keseluruhan seleksi), obyektif (berdasar presentase kompetensi), serta transparansi (diketahui publik).
Referensi : Novendri M. Nggilu, “Constitutional Judge Selection Process”: Problems and Future Models Jurnal Konstitusi, 18, (2) 2021. *
Penulis adalah Lulusan S1 – Ilmu Hukum dan Praktisi Industrial Relation (IR) Perusahaan
Discussion about this post