(Masihkah Pilkada di Daerah ini Berjalan Jurdil ?)
Oleh: Aswan Ali
PENGANTAR:
SEBELUM penulis mengulas topik tulisan ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai dua hal. Pertama, terkait sikap atau motivasi penulis yang sering mengkritisi kinerja penyelenggara pemilu/pilkada, khususnya KPU Kabupaten Banggai. Penulis perlu menjelaskan hal ini, oleh karena dari sekian banyak pembaca yang mengikuti tulisan-tulisan penulis, diantaranya terdapat beberapa orang yang mempertanyakannya.
Terkesan oleh penanya, dibalik tulisan-tulisan itu seolah-olah penulis ingin mendiskreditkan moral dan integritas KPU Banggai dimata publik. Disisi lain, terkandung insinuasi atau sindiran (kalau tak dikatakan tuduhan), bahwa penulis sengaja melakukan itu untuk kepentingan yang menguntungkan Paslon tertentu, serta demi menjatuhkan Paslon lainnya. Apa benar?
Tentu saja tidak benar. Ya, bahwa penulis melakukan hal ini, tegas penulis katakan, justru demi mengawal terjaganya marwah lembaga, serta kualitas moral dan integritas para komisioner KPU Banggai itu sendiri. Melalui tulisannya, penulis juga hendak mengekspresikan keinginan masyarakat Kabupaten Banggai sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Bahwa dari 246.784 warga Kabupaten Banggai yang terdaftar sebagai pemilih tetap pada Pilkada 2020, pada umumnya menginkankan agar pemilihan calon bupati dan wakil bupati yang akan memimpin masyarakat dan daerah ini, dapat terlaksana secara jujur dan adil (jurdil).
Ya, meskipun diantaranya ada juga yang tidak mementingkan asas “JURDIL” tersebut. Bagi sebagian orang, mungkin lebih penting memikirkan cara-cara yang “jitu” untuk memenangkan Pilkada, daripada menjaga moral dan integritas. Sebab menurut doktrin politik mereka, “lebih baik tertawa dalam kemenangan meskipun berlumur noda, daripada menangisi kekalahan akibat jujur”.
Kedua, penulis juga perlu menjelaskan terlebih dahulu, apa itu moral dan integritas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral diartikan sebagai “isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan”. Sedangkan integritas didefinisikan sebagai, “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran”. Bertitik tolak dari definisi seperti itulah penulis hendak menelusuri dan mengungkap ikhwal performance moral dan integritas personil komisioner KPU Banggai.
MORAL PUTUSAN KPU BANGGAI
Meminjam istilah Dri Sucipto, mantan komisioner KPU Banggai periode sebelumnya, yang mengatakan bahwa PUTUSAN KPU Banggai adalah “MAHKOTA” yang harus dijaga kewibawaan dan kehormatannya. Oleh karena dari “Mahkota Putusan” itulah publik dapat melihat sejauh mana kelima komisioner KPU Banggai menjalankan kewenangannya sudah sesuai dengan kualitas moral dan nilai-nilai integritas yang dimilikinya. Demi menjalankan amanat yang diberikan undang-undang.
Sehubungan dengan itu, maka penulis hendak menyoal Putusan KPU Banggai yang memberi sanksi terhadap pasangan bakal calon petahana Herwin Yatim – Mustar Labolo (Winstar) dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi peserta Pilkada 2020. Apakah produk hasil pleno komisioner KPU Banggai itu, benar telah mencerminkan kehendak isi hati atau moral, yang mencerminkan kesatuan nilai-nilai kewibawaan dan kejujuran atau integritas kelima personilnya itu? Atau, apakah dibalik lahirnya putusan tersebut, terkandung niat dan maksud tertentu yang justru bertentangan dengan asas pemilihan umum yang“JURDIL”?
Untuk mengungkap hal tersebut, maka perlu ditelusuri latar belakang atau kronologis lahirnya putusan KPU Banggai tersebut. Pada awalnya putusan bernomor 50/PL.02.3-Kpt/7201/KPU-Kab/IX/2020, tanggal 23 September 2020 tentang penetapan bakal pasangan calon petahana dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai peserta pada pemilihan bupati dan wakil bupati Banggai pemilihan esrentak lanjutan tahun 2020. Putusan tersebut lahir setelah Bawaslu Banggai merekomendasikan ke KPU Banggai temuan pelanggaran administrasi pemilihan yang dilakukan oleh Bupati Banggai H. Herwin Yatim, terkait penggantian pejabat dimasa terlarang tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri.
Menurut hasil kajian Bawaslu, tindakan yang melanggar ketentuan pasal 71 ayat (2) UU No. 10/2016 tentang Pilkada tersebut, dapat dijerat dengan sanksi pembatalan sebagai calon bagi petahana, sebagaimana diatur pasal 71 ayat (5) UU dimaksud. Dan Bawaslu Banggai telah menerbitkan rekomendasinya tertanggal 1 Mei 2020 No. 502/K.ST-01/PM.05.01/V/2020 perihal Penerusan Pelanggaran Administrasi Pemilihan. Bawaslu bahkan tetap kukuh dan bersikap konsisten dengan rekomendasinya tersebut, kendatipun mendapat tekanan dan intervensi dari oknum Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi Sulteng, yang mendesak agar Bawaslu Banggai menganulir atau membatalkan rekomendasinya tersebut.
Akibat menolak melakukan kemauan atasannya yang tanpa dasar peraturan yang jelas itu, kelima anggota Bawaslu Banggai akhirnya dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh Herwin Yatim atas dugaan pelanggaran kode etik. Namun mereka tetap tegar dan lurus menjalankan amanat undang-undang yang mengatur kewenangannya itu. Dari aspek ini, penulis dan publik perlu mengapresiasi dan menaruh rasa hormat yang tinggi terhadap sikap konsistensi moral dan integritas Bawaslu Banggai. Lalu bagaimana dengan sikap mitra kerjanya, KPU Banggai?
Discussion about this post