Pertama, terkait eksepsi gugatan daluarsa sebagaimana diatur pasal 5 ayat (1) Perma No. 11/2016, dimana menentukan tenggang waktu tiga hari pengajuan gugatan, majelis tidak mengacu pada tanggal terdaftarnya gugatan di Kepaniteraan, yaitu Tgl 1 Oktober 2020, melainkan mengacu pada waktu diterimanya surat gugatan tertanggal 29 September 2020. Padahal dua peristiwa, antara “diterimanya” dan “terdaftarnya” gugatan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda.
Bahwa meskipun surat gugatan Penggugat telah diterima di PTTUN, namun jika pada saat itu belum disetorkan panjar biaya perkaranya di Kepaniteraan, maka Penggugat belum bisa mendapat nomor register perkaranya. Artinya, pada hari itu Selasa, Tgl 29 September 2020 belum timbul perkara gugatan sengketa TUN antara Penggugat/Winstar melawan KPU Banggai sebagai tergugatnya. Perkara itu baru timbul setelah Penggugat mendaftarkan gugatannya Tgl 1 Oktober 2020, yang disertai dengan keluarnya nomor register perkara.
Nah, jika majelis berpatokan pada tanggal terdaftarnya gugatan (1/10) untuk menghitung tenggang waktu paling lama tiga hari, terhitung dari terbitnya surat Bawaslu Banggai Tgl 25 September 2020, tentang penolakan penyelesaian sengketa administrasi terkait SK TMS dari KPU tersebut, maka dapat dipastikan gugatan Penggugat/Winstar yang didaftarkan Tgl 1/10 itu telah daluarsa dilihat dari persyaratan waktu pengajuannya ke pengadilan. Daluarsa, oleh karena terlambat atau lewat 1 (satu) hari pendaftarannya di Kepaniteraan PTTUN Makassrar. Dengan demikian maka seharusnya majelis menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Namun yang terjadi sebaliknya, majelis justru menyimpulkan bahwa pengajuan gugatan tersebut masih dalam tenggang waktu yang diperbolehkan, oleh karena majelis berpatokan pada tanggal pengajuan gugatan, yaitu Tgl 29/9. Nah keganjilan penerapan hukum dalam pertimbangan majelis, terkait penentuan waktu antara “diterimanya” dan “terdaftarnya” gugatan itulah yang patut dijadikan alasan untuk diuji oleh majelis kasasi MA, dimana putusan PTTUN Makassar tersebut telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku (Perma No. 11/2016).
Hal lainnya yang patut pula untuk diuji oleh majelis kasasi adalah pertimbangan majelis yang mengindikasikan adanya “rekayasa” alat bukti. Bahwa majelis dalam pertimbangannya telah menilai alat bukti milik Penggugat yang diberi tanda P.20, yaitu bukti tanda terima dokumen surat gugatan di PTTUN Makassar Tgl 29/9. Padahal dalam daftar lampiran alat bukti yang tertulis dalam surat gugatan Penggugat halaman 79-81, tidak tercantum alat bukti bertanda P.20 tersebut. Alat bukti milik penggugat yang diajukan ke sidang pembuktian hanya terdiri dari 19 macam alat bukti yang diberi tanda P.1 s/d P.19 (dalam uraiannya tidak disebutkan adanya alat bukti tambahan berupa P.20). Nah, menurut penulis, anasir yang mengindikasikan adanya rekayasa alat bukti dalam pertimbangan hukum majelis PTTUN itulah yang patut diuji kebenarannya oleh majelis kasasi MA.
Baca juga: KEKUASAAN Versus KEADILAN |
Titik kelemahan lainnya yang terdapat dalam putusan PTTUN tersebut, adalah pertimbangan hukum majelis terkait objek sengketa yang didasarkan pada surat Bawaslu Banggai tertanggal 25 September 2020 No. 001/PS.PNM.LG/IX/2020, tentang pemberitahuan permohonan penyelesaian sengketa pemilihan yang diajukan Winstar, tidak dapat diterima. Oleh karena objek yang disengketakan tersebut (SK TMS KPU), dikecualikan dan/atau tidak termasuk sebagai objek sengketa yang menjadi kewenangan Bawaslu. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 ayat (3) dan (4) serta Pasal 5 Perbawaslu No. 2 Th 2020 tentang tata cara penyelesaian sengketa pemilihan.
Olehnya itu surat Bawaslu Model: PSP-6 tersebut tidak termasuk sebagai produk putusan sebagaimana dimaksud Pasal 58 ayat (2) dan Pasal 59 Perbawaslu No. 2 Th 2020, yang menegaskan bahwa produk putusan Bawaslu harus sesuai dengan formulir Model: PSP-18, dimana memuat kepala putusan yang ciri-cirinya, antara lain, terdapat lambang negara, nama lembaga, judul putusan, nomor putusan, dan ira-ira putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Juga memuat identitas para pihak, penggugat dan tergugat, dan terdapat pula pertimbangan hukum dan amar putusan.
Sedangkan surat Bawaslu Model: PSP-6 yang dijadikan dasar untuk mengajukan gugatan ke pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (1) Perma No. 11/2016, bukanlah produk putusan, makanya tidak terdapat ciri-ciri yang sesuai dengan formulir Model: PSP-18 tersebut. Dengan demikian, oleh karena pertimbangan hukum majelis PTTUN tersebut telah menyimpang dari ketentuan pasal 58 dan pasal 59 Perbawaslu No.2 Th 2020, menurut penulis putusan tersebut berpeluang untuk dibatalkan ditingkat kasasi MA. Namun sangat disesalkan, pihak Tergugat KPU Banggai tidak menggunakan sarana dan upaya hukum sebagaimana diatur pasal 13 ayat (1) Perma No. 11/2016. Tanpa alasan yang jelas, mereka justru mengambil jalan kompromi.
MOSI TIDAK PERCAYA
Sejauh ini KPU Banggai masih tertutup dan belum menjelaskan ke publik apa sebenarnya alasannya sehingga mereka lebih memiih jalan kompromistis daripada menggunakan sarana hukum yang tersedia. Ketertutupan KPU Banggai ini, setidaknya mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam managemen kepemimpinan, serta nilai-nilai moral. Dan hal inilah yang perlu ditelisik lebih dalam oleh Bawaslu Banggai. Ada hal apa sehingga mereka lebih suka berkompromi dengan kandidat? Itu pertanyaan yang perlu ditelusuri lebih jauh.
Disisi lain, ketertutupan KPU Banggai seolah memberi isyarat agar publik berspekulasi sendiri, terkait alasan dibalik sikap kompromistis KPU Banggai tersebut. Oleh karena itu janganlah disalahkan jika ditengah-tengah masyarakat berkembang sinyalemen (isu) yang mencurigai oknum komisioner KPU Banggai telah “bermain mata” dan mendapat “imbalan” tertentu untuk tidak melakukan kasasi ke MA.
Dari fakta yang penulis uraikan diatas, maka penulis beranggapan kondisi moral dan integritas komisioner KPU Banggai saat ini sudah runtuh, dan tidak dapat lagi mendukung terselengganya Pilkada yang JURDIL. Oleh karena itu secara pribadi penulis menyatakan “mosi” tidak percara terhadap kinerja KPU Banggai. Saran penulis, kelima komisioner KPU Banggai sebaiknya mengundurkan diri, dan memberikan kesempatan kepada orang lain yang masih memiliki moral dan integritas yang baik untuk melanjutkan tahapan Pilkada selanjutnya. Demikian, wawlahu a’lamu bishawab..!*
Penulis adalah Advokad / Ketua DPC PPKHI Kab. Banggai, tinggal di Luwuk
Discussion about this post