Komersialisasi Asmara dan Industri Asusila di Kota Luwuk Cukup Tinggi, Hampir Menyamai Kota Besar

oleh -1036 Dilihat
oleh
Polisi saat melakukan razia pada salah satu tempat hiburan malam di Kota Luwuk Kabupaten Banggai. (Foto Humas Polres Banggai)

Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si

FENOMENA komersialisasi asmara dan menjamurnya industri asusila di Luwuk Kabupaten Banggai kini bukan lagi sekadar bisik-bisik di warung kopi atau isu pinggiran.

Di tengah pertumbuhan ekonomi kawasan dan modernisasi ruang-ruang sosial, kita justru menyaksikan meningkatnya praktik-praktik yang menodai moralitas publik dan menggerus nilai-nilai kultural, yang selama ini menjadi fondasi masyarakat Banggai.

Komersialisasi asmara merujuk pada pergeseran relasi cinta dan kasih sayang menjadi transaksi ekonomi.

Di Luwuk Kabupaten Banggai, gejalanya mulai terlihat dalam bentuk praktik sugar dating, sewa pacar, hingga gaya hidup glamor sebagian muda-mudi yang menggantungkan diri pada relasi “berbasis imbalan”.

Relasi yang seharusnya dibangun atas dasar kesetiaan dan kemanusiaan kini dinodai oleh logika pasar: siapa mampu membayar, dia yang berkuasa.

Parallax Image

Tentu ini bukan perkara individu semata. Struktur sosial dan budaya yang permisif terhadap hedonis. Ditambah lemahnya kontrol sosial, menjadikan fenomena ini semakin berkembang diam-diam, namun nyata.

Januari 2025, Polres Banggai menutup satu rumah pijat di Komplek Tanjungsari, Kelurahan Karaton, Luwuk, yang diduga menjadi tempat prostitusi terselubung.

November 2024, Sat Samapta Polres gencar razia penginapan menyisir tempat-tempat yang digunakan sebagai lokasi prostitusi dan kriminalitas.

Juni 2023, media mengungkap karaoke keluarga di Jalan Dr. Moh. Hatta, Luwuk, menyediakan pemandu lagu (LC) dengan tarif Rp 170.000 per jam.

Bila dilanjutkan, tarif untuk hubungan intim bisa mencapai Rp 800.000–1 juta.

Februari 2023, Polres Banggai melakukan Operasi Bina Kusuma dan menertibkan rumah-rumah di Kompleks Tanjungsari yang berfungsi sebagai lokalisasi/prostitusi.

September 2021, laporan Dinkes/RSUD mencatat 468 kasus HIV/AIDS di Kabupaten Banggai; wilayah dengan angka terbanyak termasuk Kecamatan Luwuk dan Luwuk Selatan.

Faktor pendorong, meningkatnya praktik prostitusi akibat berkembangnya industri hiburan.

Industri Asusila, tumbuh di Tengah Keterbatasan Regulasi

Laporan masyarakat dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa sejumlah tempat hiburan malam, panti pijat bertopeng, hingga praktik prostitusi terselubung kini menjamur di kota ini.

Bahkan dalam beberapa kasus, ruang digital seperti aplikasi kencan dan media sosial lokal menjadi saluran yang mempercepat transaksi jasmani yang berbalut asmara semu.

Ironisnya, semua ini berlangsung di tengah keterbatasan pengawasan, ketidaktegasan penegakan hukum, dan kebisuan elit lokal.

Pemerintah daerah seakan gamang, antara mengejar investasi dan menjaga citra religius serta moral daerah.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia membawa dampak berlapis, mulai dari meningkatnya kasus kekerasan seksual, degradasi nilai keluarga, hingga kerentanan remaja terhadap eksploitasi.

Jika tidak ada intervensi serius, masyarakat Luwuk Banggai akan mengalami apa yang disebut desensitisasi moral ketika hal yang menyimpang dianggap biasa dan diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Apa yang Bisa Dilakukan?

1. Penegakan Regulasi Ketat: Pemerintah daerah harus berani menertibkan tempat-tempat hiburan yang terbukti menjadi tempat berlangsungnya praktik asusila.

2. Revitalisasi Moralitas Publik: Melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan rumah ibadah, perlu digiatkan kembali nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan lokal yang menolak eksploitasi tubuh dan perasaan.

3. Pengawasan Dunia Digital: Kolaborasi antara aparat, tokoh masyarakat, dan komunitas digital sangat penting untuk mengawasi peredaran konten dan aplikasi yang memfasilitasi transaksi asusila.

Update artikel kami di Google News dan WhatsApp Channel