Seperti kita ketahui bersama, jelang akhir 1997 terjadi penggarongan uang negara sekitar Rp 630 trilyun (kasus BLBI). Tujuan kebijakan BLBI zaman Orde Baru sejatinya mulia: mencegah destabilitas keuangan negara yang lebih ddestruktif. Tapi, dana BLBI yang tertampung ke 16 bank swasta justru digarong dan diparkir di bank sejumlah negara, terutama Singapura. Kasus yang dilakukan sejumlah konglomerat hitam.
Tercatat nama-nama para penggarong BLBI, yaitu Samsul Nursalim (Liem Tek Siong) sebesar Rp 65,4 trilyun, Usman Admadjaja (Rp 35,6 trilyun), Samadikun Hartono (Rp 25 triyun), Andrian Kiki Ariawan (Rp 15 trilyun), Lesmana Basuki (Rp 13,2 trilyun), Tony Suherman (Rp 13,2 trilyun), David Nusa Wijaya (Rp 2,9 trilyun), Sherny Kon Jong Iang (Rp 2,6 trilyun), Maria Pauline (Rp 1,9 trilyun). Mereka tak tersentuh oleh hukum sebagaimana mestinya. KPK tampak tak bergerak.
Kasus e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 trilyun hingga kini juga tidak berhasil dibongkar KPK. Seluruh aktor utama yang terlibat dalam proses legislasi harusnya diambil tindakan secara tegas oleh KPK atas kejahatan persekongkolannya dalam merumuskan proses legislasinya. Ada yang ditindak, seperti Setynovanto. Bagaimana dengan petinggi lain dari unsur partai – yang menurut mantan Ketua Umum Golkar – menerima dana e-KTP itu. KPK tidak menyentuhnya. Tak bisa dilupakan juga masalah kejahatan kerah putih dari mavia megaproyek Reklamasi di pantai utara Jakarta, kasus pembelian Pemprov. Siapa pemberi izin pengembangan fisik megaproyek Reklamasi itu? Siapa dari anasir petinggi partai dan siapa para komprador dari unsur swasta yang berperan dalam megaproyek reklamasi?
Di luar persoalan penyalahgunaan wewenang atas megaproyek Reklamasi, BPK juga temukan dugaan korupsi mantan Gubernur DKI Jakarta sebesar Rp 191 milyar pada kasus RS Sumber Waras, plus kerugiaan negara sebesar Rp 400 milyar, karena Kartin Muljadi hanya terima Rp 355 milyar dari nilai Rp 755 milyar yang dibayarkan Pemprov. DKI Jakarta saat itu. BPK juga temukan pembelian lahan Taman BMW yang beratas nama Agung Podomoro (AP) yang sesungguhnya bodong sertifikatnya. Lahan ini ditukar guling dengan lahan di Cengkareng (milik Pemprov. DKI Jakarta), yang dibeli dari Toeti Zoezlar. Transaksi ini telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 668 milyar.
BPK juga temukan penyimpangan Pemprov. DKI Jakarta untuk pengadaan 15 bus transjakarta senilai Rp 1,2 trilyun. Untuk menghilangkan jejak, 15 bus tersebut dibakar (dimusnahkan). Dan – atas auditnya pada 31 Mei 2016 – BPK temukan 15 kasus dana nonbudgeter senilai Rp 374 milyar. Semua itu Rizal Ramly dan kawan-kawan – melalui lembaga Geraka Indonesia Bersih (GIB) – telah mengantarkan data penyalahgunaan wewenang Pemerintahan DKI Jakarta periode 2012 – 2017.
Baca juga: Menuju Pilkades berintegritas serta menjaga Nilai Demokrasi
Dan dalam perkembangan terakhir, KPK juga harusnya berani menyentuh bisnis pejabat negara yang mengeksploitir bencana nasional (covid-19) yang mewajibkan Rapid Test, antigen, PCR dan vaksinsi yang ditengarai meraup dana trilyunan rupiah. Sebagian dari uang rakyat dan hal ini tentu tak bisa dikejar secara hukum. Sebagian lagi – dan hal ini jauh lebih fantastik nilainya – justru dari uang negara. Hal ini tentu mewajibkan KPK untuk menelisiknya: tegakkan hukum tanpa diskriminasi.
Tak bisa dipungkiri, ada eksploitasi keuangan negara secara sistimatis dan terencana, yang merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang harus diambil tindakan hukum bagi KPK. Tapi, apa daya. Kalah kuat. Jadi, nihil hasilnya. Nihilitas itu tak lepas dari sikap diskriminatif KPK dan tak ada keberanian menindak sejumlah pejabat negara yang diduga kuat berpotensi pada orang nomor satu negeri ini. Ketidakberanian KPK – sangat boleh jadi – akibat dari posisinya kini ada di bawah kekuasaan Presiden.
Secara general-faktual, publik menyaksikan penurunan kinerja lembaga anti korupsi, KPK. Menurut catatan Transparency International Indonesia (TII), penegakan hukum anti korupsi Indonesia menempatkan negeri kita pada peringkat 85 dari 180 negara dengan skor 40 dalam indeks persepsi korupsi tahun 2019. Sementara itu – menurut International Global Corruption Barometer for Asia yang dilansir melalui Youtube – menempatkan indeks korupsi (IK) Indonesia pada urutan ketiga se-Asia dengan prosentase 30%. Negara terkorup pertama dan kedua di Asia adalah India dengan IK 39% Kamboja (ber-IK 37%). Sedangkan urutan keempat dan kelima diduduki Thailand (dengan IK 24%) dan China (IK 28%).
Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai, penurunan kinerja penegakan hukum akibat dominasinya sejumlah elit yang kini ada pangkuan kekuasaan dan partai politik. Juga, cengkeraman para bohir. Persekongkolan mereka membuat KPK bukan hanya tak mampu memberantas kejahatan kerah putih itu, tapi memang tak punya keberanian. KPK bahkan aparatur lainnya dari komponen penegakan hukum senantiasa dibayang-bayangi kekuatan strategis yang mengakibatkan diskriminasi dalam penegakan hukum. Jika bangsa ini committed untuk menegakkan hukum, maka sudah saatnya oligarki politik harus dikikis. Harus dikeluarkan dari sistem politik dan pengelolaan negara. Ini panggilan kita semua bagi yang berjuang untuk Indonesia bersih, maju, mandiri dan berdaulat. *
Jakarta, 1 Januari 2022
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post