Oleh: Muhadam Labolo
SEJAK dulu bahkan sampai nanti, ketegangan agama versus negara dipenuhi kontraksi. Pada titik tertentu keduanya berusaha menampilkan ego otoritasnya masing-masing. Ditingkat ideal keduanya hidup dalam rukun bernegara, entah negara sebagai lead, atau agama sebagai pandu. Dalam ajaran sekularisme, agama hidup sekalipun mesti menjaga jarak dengan negara. Agama adalah privasi yang dibiarkan merdeka begitu saja (Kencana, 2018). Dalam paradigma simbiotik, agama ibarat matahari yang menerangi negara sebagai bulan bagi cahaya di bumi. Berbeda dengan itu, dinegara yang meletakkan agama sebagai satu-satunya sumber nilai mengharuskan pemerintah tunduk pada otoritas agama. Negara, dalam paham integralistik semacam itu hanyalah bagian dari lanskap agama yang maha luas.
Dalam konteks negara agama, otoritas negara relatif tak banyak dipersoalkan. Alasannya pemerintah sebagai personifikasi negara adalah representasi konkrit atas firman Tuhan dan sabda dari setiap pesuruhNya. Dengan doktrin ini maka setiap pembangkangan dapat dimaknai pengingkaran terhadap otoritas Tuhan dan pesuruhNya melalui mana pemerintahan dijalankan. Ketegangan mudah ditemukan pada negara yang memisahkan urusan agama dan negara. Di Perancis, dengan alasan kebebasan adalah ekspresi politik warga yang dilindungi, negara lewat Emannuel Macron (2020) dinilai bersikap diskriminatif terhadap salah satu agama. Ironisnya ekspresi agama lewat simbol dan ritualitasnya seringkali dicurigai negara, bahkan dianggap ancaman serius. Negara, sekalipun nyatanya dibangun diatas esensi agama, jamak bersikap acuh dan merujuk pada konsensus bersama, bukan semata agama. Praktis relasi agama dan negara terjebak dalam romantisme benci tapi rindu.
Tensi agama dan negara meningkat tajam ketika agama tak lagi menjadi suluh bagi pelita bernegara. Sekalipun batin konstitusi dianggap telah merepresentasikan spirit penting dari tiap-tiap agama, realitasnya tafsir atas konsensus tak jarang abai merangkul agama. Disini persoalannya, para penerjemah konstitusi terpilih di legislatif tak banyak memiliki kemampuan merawat semangat religi dalam batang tubuh kebijakan. Hasilnya, produk kebijakan berpotensi melawan kehendak Tuhan, melukai rasa keadilan orang banyak, sekalipun terdapat sedikit orang yang diuntungkan. Spirit agama penting untuk memandu setiap aktor negara agar mampu mentransformasikan nilai agama kedalam kebijakan sehingga berkualitas secara ruhaniah dan bermoral secara sosial.
Terhadap kesadaran spiritual dan kewargaan kita dalam negara bangsa semacam ini, relasi agama dan negara yang dimanifestasikan oleh mereka yang memerintah dan yang diperintah lewat aneka keyakinan, wajib hukumnya dibangun secara mutualistik agar menuai manfaat bagi keduanya. Esensi agama sepatutnya menjadi pengawas melekat bagi personifikasi negara (waskat). Kelopak religiusitasnya mencipta mahkota kejujuran, welas-asih, bela-rasa, integritas, dan keteladanan dimana-mana. Diyakini salah satu kemajuan negara karena faktor integrity. Negara melalui perangkatnya bertindak mewakili sifat-sifat Tuhan yang tidak saja pengasih dan penyayang, juga tegas dan melindungi. Pada saat yang sama ekspresi agama dengan segenap atributnya dapat tumbuh dan berkembang dibawah naungan negara. Sisi etiknya, otonomi agama tumbuh dengan sifat ilahiyah Nya tanpa memaksa agar tubuh negara menjadi teokrasi. Inilah simbiosis-mutualistik dalam hubungan agama dan negara yang kita sepakati, entah sementara ataupun sepanjang masa. *
(penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post