IKLAN
Kolom Muhadam

Ibukota Negara, Administratif atau Otorita?

393
×

Ibukota Negara, Administratif atau Otorita?

Sebarkan artikel ini

Di luar itu negara merekognisi masyarakat adat yang eksis dan lestari seperti Subak, Jorong, Nagari, Gampong, dll (Pasal 18B ayat 2). Jadi sekali lagi, pembentukan wilayah ibukota negara yang baru tidaklah pas menggunakan rujukan Pasal 18B. Keduanya jelas merujuk pada satuan pemerintahan khusus & masyarakat adat yang memiliki latar historis tertentu, bukan daerah baru yang sengaja dibentuk.

Perlu diingat bahwa penjelasan UUD 1945 sebelum di amandemen menempatkan konsep dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah (lihat juga UU 5/74). Pasca amandemen, asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah hanya dua, yaitu asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2).

Baca juga: Mengetuk Nurani Hukum Kita

Lalu kemana konsep dekonsentrasi dan desentralisasi? Keduanya bukan asas tapi cara. Cara bagaimana menyelenggarakan pemerintahan di daerah, dapat dengan cara desentralisasi, bisa dengan cara dekonsentrasi (Bagir Manan & Jimly Ashiddiq, 2001). Cara pertama bisa _ultra vires_ atau _general competence._ Sedangkan cara kedua bisa dalam bentuk _integreated field administration_ atau _functionale field administration._

Dengan memahami pendekatan teoritik dan normatif di atas kita dapat mengatakan bahwa penetapan status ibukota negara lebih pada soal cara. Cara bagaimana menyelenggarakan pemerintahan ibukota negara. Tentu saja dengan cara _delegasi,_ bukan dalam konteks daerah khusus yang dimaksud pasal 18B ayat (1).

Bahwa kemudian ibukota negara ditetapkan sebagai daerah khusus sebagaimana Provinsi DKI Jakarta, itu soal lain. Tetapi pembentukan ibukota negara itu sendiri hanyalah suatu cara dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui konsep delegasi. Itu pun jika yang ingin dibentuk adalah badan otorita (Sumarsono, 2021).

Jika pilihan status ibukota negara bersifat administratif, maka susunan pemerintahan tetap berada dibawah provinsi otonom. Sekalipun demikian, wilayah administratif bukanlah daerah otonom sehingga tak berhak mengelola rumah tangga sendiri. Konsekuensinya tak membutuhkan legislatif lokal sebagaimana kabupaten dan kota administratif di wilayah Provinsi DKI Jakarta. *

(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)

Baca:  Konflik Internal Partai Politik
error: Content is protected !!