“Tahun 2019 tidak ada lagi permintaan,” kata Thamrin.
Ia menduga, tidak ada lagi pesanan karena sudah ketahuan. Thamrin menyebut, suatu waktu seorang pejabat dari Kementerian Desa berkunjung ke Desa Pinjan. Ia menceritakan kekecewaannya tentang permintaan anakan maleo itu dan meminta untuk menyampaikan ke Direktorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.
“Dugaan saya karena sudah ada teguran sehingga tidak ada lagi permintaan,” ujarnya.
Suleman Gobel memperlihatkan anakan maleo yang baru menetas di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Setelah itu, dipindahkan ke tempat penangkaran dan tidak lama kemudia dilepas ke alam bebas. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia
Konservasi Ex Situ
Untuk mencari kebenaran informasi yang disampaikan Thamrin Latery, Mongabay Indonesia mendatangi Kota Luwuk di Kabupaten Banggai. Saat ini perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan untuk pelestarian burung maleo hanya ada dua, PT. Donggi Senoro Liquefied Natural Gas atau disingkat PT. Donggi Senoro LNG dan PT. Panca Amara Utama.
Lingkup bisnis PT. Donggi Senoro LNG adalah mengolah gas alam menjadi gas alam cair. Berdasarkan laporannya, kilang PT. Donggi Senoro LNG berkapasitas produksi dua juta ton per tahun, hasil kerja sama PT. Pertamina (Persero), PT. Medco Energi Internasional Tbk, Mitsubishi Corporation, dan Korea Gas Corporation. Perusahaan ini menyebut kilangnya menjadi proyek pertama di Indonesia yang menggunakan skema hilir, memisahkan produksi gas di hulu dengan pengolahan gas alam cair di hilir.
Sementara PT. Panca Amara Utama adalah perusahaan amonia dengan kapasitas 700.000 metrik ton per tahun. Proyek senilai US Dolar 830 juta ini terbesar di Indonesia Timur dengan memanfaatkan gas lapangan yang dipasok Donggi Senoro bekerja sama dengan JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi.
Amonia adalah senyawa kimia yang digunakan dalam pembuatan pupuk dan produk petrokimia lainnya. Dua perusahaan ini letaknya di pesisir pantai Desa Uso Kecamatan Batui dan saling berdekatan. Selain itu, dalam upaya pelestarian maleo, keduanya memiliki penangkaran atau yang dikenal dengan sebutan konservasi ex situ, model konservasi satwa di luar habitat alaminya.
Maleo Center milik PT. Donggi Senoro LNG di pesisir Desa Uso Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia
Pada 28 September 2019, Mongabay Indonesia berupaya membuat janji pertemuan dengan Media Relations Officer PT. Donggi Senoro LNG, Rahmat Azis, via WhatsApp, sekaligus ingin melihat langsung Maleo Center perusahaan ini. Rahmat menjawab ia perlu konsultasi dengan manajeman karena tempat konservasi itu tangah direnovasi. Setelah itu tak ada kabar lagi.
Salah seorang warga Batui, Abdi Waldi Meleto, menawarkan jasa kepada Mongabay Indonesia, mengajak melihat langsung Maleo Center milik PT. Donggi Senoro LNG. Lokasinya tepat di pesisir pantai samping pabrik PT. Donggi Senoro, hanya dipisahkan jalan aspal selebar 10 meter.
“Tempat itu terbuka untuk masyarakat. Petugas yang jaga maleo juga orang Batui,” kata Abdi.
Di tempat 2.000 meter persegi itu, terdapat maleo dewasa dengan usia rata-rata 4 tahun, sebanyak 16 ekor. 10 ekor dikumpulkan satu tempat dan sisanya dipisahkan. Selain itu, terdapat inkubator penetasan telur yang ternyata ada satu telut.
Berdasarkan siaran pers PT. Donggi Senoro LNG 25 April 2019, dijelaskan bahwa perusahaan tersebut melepasliarkan 17 ekor anakan maleo dalam rangka peringatan Hari Bumi yang sering diperingati setiap 22 April. Pelepasliaran dilakukan di Suaka Margasatwa Bakiriang Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai.
Anakan maleo itu disebut sebagai hasil konservasi ex situ yang dilakukan perusahaan sejak 2013. Keseluruhan, PT. Donggi Senoro telah melepasliarkan 85 anakan maleo hasil konservasi ex situ dari telur-telur sitaan yang diserahkan BKSDA Sulawesi Tengah.
Mongabay Indonesia berupaya kembali menghubungi PT. Donggi Senoro LNG via email melalui Shakuntala Sutoyo, Senior Manager Relations and Communication, mengkonfirmasi penjelasan Thamrin Latery, Kepala Resort Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop.
“Kami dapat jelaskan bahwa berangkat dari kerja sama kami dengan pihak BKSDA dan Tenaga Ahli Pak Mobius Tanari dari Universitas Tadulako, bahwa pada 2017 dan 2018 jumlah keseluruhan anakan yang dihasilkan dari fasilitas inkubator sebanyak 57 ekor,” jelas Shakuntala.
Mongabay Indonesia pun bertemu Koordinator Lapangan Maleo Konservasi PT. Panca Amara Utama, Herman Tope, di Kota Luwuk.
Konservasi maleo ex situ di perusahaan amonia ini berdiri sejak 2016, sudah lima kali melepasliarkan anakan maleo: dua kali di Lowa, sebuah tempat keramat masyarakat adat Batui, dan sisanya di hutan Bakiriang. Saat pelepasan, mereka melibatkan perwakilan BKSDA dan dinas terkait dari pemerintah daerah setempat.
“Dalam catatan saya pelepasan di 2016 (20 ekor), 2017 (30 ekor), 2018 (35 ekor), serta 2019 dua kali pelepasan. Pertama 30 ekor dan berikutnya 40 ekor,” ungkap Herman.
Menurutnya, konservasi maleo ex situ di PT. Panca Amara Utama sama dengan apa yang dilakukan PT. Donggi Senoro LNG, karena penanggung awabnya adalah Mobius Tanari, dosen dan peneliti dari Universitas Tadulako, Palu. Bahkan katanya, pernah dalam pelepasan anakan maleo oleh PT. Donggi Senoro LNG tidak memenuhi kuota, maka dipasok dari konservasi ex situ milik PT. Panca Amara utama.
“Misalkan PT. Donggi Senoro LNG butuh 30 ekor anakan maleo dan tidak mencukupi, maka akan diberi atas persetujuan dari Pak Mobius Tanari, dan tentu saja lewat perusahaan. Tapi tidak banyak jumlahnya, biasanya 4 ekor,” ungkap Herman.
Terkait pelepasan anakan maleo oleh perusahaan PT. Donggi Senoro LNG, Herman Tope pada Jumat [8 November 2019], memberikan klarifikasi. Semula ia mengungkapkan, PT. Donggi Senoro LNG kekurangan anakan maleo dan dipasok dari PT. Panca Amara Utama. Setelah konfirmasi, dia menyatakan pihaknya tidak pernah memberikan anakan maleo.
“Itu milik sendiri [PT. Donggi Senoro LNG]. Pernah satu kali dibawa dari Luwuk dan singgah di PT. Panca Amara Utama karena kondisi kandang perusahaan waktu itu tidak memungkinkan,” tuturnya.
Herman juga membantah, anakan maleo yang dilepaskan perusahaan itu diambil dari Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. *
Discussion about this post