Menguatkan Kewenangan DPD RI: Mewujudkan Otonomi Daerah Menuju Indonesia Emas 2045

oleh -124 Dilihat
oleh

Oleh: Hj. Nurmawati Dewi Bantilan, SE, MH


Pendahuluan

DEWAN Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merupakan lembaga negara hasil reformasi konstitusional 1998 yang dibentuk melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lembaga ini dimaksudkan untuk memperkuat prinsip representasi daerah dalam sistem perwakilan nasional, serta menjadi instrumen konstitusional dalam mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan antarwilayah.

Namun dalam praktik ketatanegaraan, posisi DPD RI sering kali dinilai belum proporsional dengan semangat awal pembentukannya.

Kewenangannya terbatas, perannya dalam proses legislasi tidak optimal, dan kontribusinya terhadap pengawasan kebijakan yang menyangkut kepentingan daerah sering kali dipersepsikan sebatas pelengkap.

Padahal, keberadaan DPD memiliki peran strategis dalam menjembatani aspirasi daerah dengan kebijakan nasional.

Dalam perspektif Hukum Tata Negara, penguatan kewenangan DPD bukan sekadar persoalan politik lembaga, tetapi merupakan keniscayaan konstitusional untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang seimbang (checks and balances), demokratis, dan berpihak pada otonomi daerah.

Hal ini menjadi sangat penting di tengah upaya bangsa Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045, di mana pemerataan pembangunan dan keadilan antarwilayah menjadi prasyarat utama.

Kedudukan Konstitusional DPD RI dalam Sistem Ketatanegaraan

UUD 1945 hasil amandemen memberikan landasan hukum bagi keberadaan DPD RI melalui Pasal 22C dan Pasal 22D.

Pasal 22D ayat (1) menyebutkan bahwa DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Selain itu, ayat (2) dan (3) memberikan kewenangan kepada DPD untuk ikut membahas RUU tertentu serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Namun dalam praktiknya, kewenangan tersebut tidak bersifat decisive, melainkan hanya konsultatif dan rekomendatif.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2010), keberadaan DPD RI dalam sistem parlemen Indonesia mencerminkan model asymmetric bicameralism — yaitu sistem dua kamar yang tidak memiliki kedudukan setara antara DPR dan DPD.

DPR memiliki kekuasaan legislasi, anggaran, dan pengawasan yang lebih luas, sementara DPD hanya berperan sebagai pelengkap dalam isu-isu tertentu yang berkaitan dengan daerah. Model ini menyebabkan DPD sulit memainkan fungsi representatif secara penuh.

Padahal, dalam negara dengan karakter geografis dan sosial yang sangat beragam seperti Indonesia, sistem dua kamar yang kuat sangat dibutuhkan agar aspirasi daerah tidak tenggelam dalam dominasi politik nasional yang terpusat di ibu kota.

Perspektif Hukum Tata Negara: Analisis dan Kritik

Dalam kajian Hukum Tata Negara modern, keberadaan lembaga perwakilan daerah seperti DPD RI seharusnya diposisikan sebagai instrumen utama untuk menegakkan prinsip konstitusionalisme desentralistik. Prinsip ini menempatkan otonomi daerah sebagai bagian integral dari sistem negara kesatuan yang demokratis.

Namun realitasnya, terdapat beberapa kelemahan struktural dan normatif yang membatasi efektivitas DPD RI, antara lain:

Keterbatasan hak legislasi. DPD belum memiliki hak inisiatif penuh dalam penyusunan undang-undang. RUU yang diajukan DPD harus dibahas bersama DPR, tetapi tanpa hak menentukan hasil akhir.

Fungsi pengawasan yang lemah. Rekomendasi atau hasil pengawasan DPD terhadap pelaksanaan undang-undang di daerah tidak memiliki kekuatan mengikat.

Keterbatasan akses terhadap kebijakan fiskal. DPD belum terlibat aktif dalam proses perencanaan dan evaluasi transfer ke daerah serta dana desa.

Keterbatasan dukungan kelembagaan. Minimnya anggaran, riset pendukung, dan tenaga ahli membatasi kemampuan DPD dalam melakukan analisis kebijakan berbasis data.

Dalam konteks ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 sebenarnya telah memberikan arah yang jelas, yakni menegaskan hak DPD untuk ikut membahas setiap RUU yang berkaitan dengan daerah hingga tahap pengambilan keputusan di DPR.

Namun, implementasinya di tingkat politik belum maksimal karena masih kuatnya resistensi dari lembaga legislatif utama.

Dari perspektif teori checks and balances, situasi ini menciptakan ketimpangan kekuasaan antara DPR dan DPD yang dapat menghambat prinsip pembagian kekuasaan dalam sistem presidensial. Akibatnya, kebijakan nasional kerap gagal merepresentasikan kebutuhan dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sebagai Pilar Demokrasi Substansial

Otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bukan hanya bentuk pembagian kekuasaan administratif, tetapi merupakan manifestasi dari demokrasi substantif.

Otonomi memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sesuai potensi dan karakteristiknya.

**) Update artikel kami di Google News dan WhatsApp Channel