Oleh: Iswan Kurnia Hasan
Al-quran surat An-Naas menyebutkan bahwa sesuatu yang buruk dan mengganggu manusia datangnya bisa dari golongan jin. Atau biasa kita kenal dengan godaan setan. Namun ada faktor internal dari manusia itu sendiri. Manusia juga bisa menjadi setan untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Oleh karena itu, sebuah maksiat tidak bisa hanya disalahkan kepada setan dari kalangan jin. Manusia itu sendiri bisa jadi inspirator dan penggerak utamanya. Tanpa ada keterlibatan godaan dari luar untuk melaksanakan maksiat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring kepada kejahatan, dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.”
Seorang yang berdusta pada awalnya bisa dipengaruhi dari luar. Ada godaan setan yang membuatnya berdusta. Inilah awal maksiat. Namun bila tidak bertaubat. Tidak segera meminta ampun kepada Allah subhaanahu wa ta’aala atas apa yang ia lakukan, maka Allah mentakdirkannya menjadi “kadzdzaaban” atau seorang yang tidak lagi bisa jujur. Ia menjadi terbiasa berdusta. Ia menjadi latah untuk berdusta.
Seperti inilah tipe maksiat yang dilakukan oleh manusia. Pada awalnya ada pengaruh dari luar dalam bentuk godaan setan dari kalangan jin. Ketika maksiat dilakukan tanpa segera diiringi dengan taubat, maka maksiat itu perlahan meningkat dari hanya sesekali, menjadi rutinitas. Walaupun terkadang masih timbul rasa takut dalam diri saat melakukannya. Dan pada akhirnya, kita latah maksiat. Menjadi kebiasaan tanpa ada lagi rasa takut kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, atau malu kepada manusia saat melakukannya.
Padahal, sebelum berubah menjadi kebiasaan. Sebelum menjadi latah yang susah untuk ditinggalkan, Allah Subhaanahu wa ta’ala memberikan kesempatan untuk segera kembali dan meninggalkannya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Ath-Thabrany, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya malaikat yang bertugas mencatat amal keburukan manusia, mengangkat pena selama 6 jam (tidak mencatat) terhadap seseorang yang berbuat dosa. Apabila ia segera menyesal dan beristighfar kepada Allah, maka tidak akan dicatat sebagai dosa. Bila tidak (segera menyesal dan beristighfar) maka dicatat sebagai satu amal buruk.
Manusia, bukanlah malaikat yang tidak pernah berdosa. Terkadang kita jatuh ke dalam maksiat dan berbuat dosa. Yang dihitung oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala bukan hanya sekedar dosa yang kita lakukan. Tapi sikap terhadap dosa tersebut. Tanggapan dari diri terhadap maksiat. Bila segera istighfar dan bertaubat. Maka ada potensi untuk tidak dicatat sebagai amal buruk.
Namun bila berulang. Dari hanya sesekali menjadi kebiasaan. Dari yang sebelumnya takut, lalu doyan maksiat. Tanpa sadar, kita sedang menuju latah berbuat maksiat. Tanpa bisa dikendalikan lagi. Hingga sampai ajal menjelang, pintu hidayah semakin tertutup rapat, dan akhirnya su’ul khatimah.
Sebelum satu kali maksiat menjadi beberapa kali maksiat. Sebelum beberapa kali maksiat akhirnya menjadi latah maksiat. Segera kembali! Mumpung sedang bersama Ramadhan. Mumpung setan sedang dibelenggu. Mumpung pintu surga sedang dibuka lebar-lebar. Dan pintu neraka sedang ditutup rapat-rapat. *
Discussion about this post