Demokrasi yang Membajak Diri: Mengapa Kejahatan Justru Terlindungi?

oleh -678 Dilihat
oleh
Syarif Makmur

Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si

DEMOKRASI di Indonesia telah berjalan lebih dari dua dekade sejak Reformasi 1998 membuka gerbang kebebasan politik.

Namun, paradoks yang makin nyata hari ini adalah bagaimana sistem yang dibangun atas dasar kedaulatan rakyat justru kerap menjadi ruang aman bagi berbagai bentuk kejahatan: dari premanisme, narkoba, hingga korupsi dan kejahatan kekuasaan.

Apakah ini cacat sistem, atau penyimpangan praktik? Indonesia sering disebut menganut demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif.

Artinya, proses demokratis seperti pemilu, pergiliran kekuasaan, dan kebebasan berpendapat berjalan, tetapi tidak diiringi oleh:

Penegakan hukum yang adil. Transparansi dan akuntabilitas kekuasaan. Perlindungan hak warga negara secara merata

Parallax Image

Dalam situasi ini, demokrasi bisa dimanipulasi oleh elite politik untuk menjaga kekuasaan, bukan untuk melayani kepentingan publik.

Biaya politik yang sangat tinggi membuat demokrasi Indonesia rentan dikuasai oleh oligarki—segolongan kecil elite politik dan bisnis yang saling menopang. Akibatnya:

Politisi bergantung pada cukong atau pengusaha besar, termasuk yang terlibat dalam bisnis ilegal.

Jabatan publik menjadi “investasi politik”, sehingga korupsi dianggap cara mengembalikan modal.

Oligarki inilah yang menyusupi sistem hukum, aparat, hingga media, dan membentuk “tameng” bagi kejahatan.

Premanisme dan narkoba sering berkelindan dengan kekuatan politik lokal:

Preman menjadi alat untuk mengintimidasi lawan politik dan mengamankan suara.

Bandar narkoba masuk ke politik untuk “membersihkan” bisnisnya dari intervensi hukum.

Fenomena ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan absennya pendidikan politik masyarakat di daerah. Hukum di Indonesia cenderung tajam ke bawah, tumpul ke atas:

Aparat penegak hukum sering bisa “dibeli” atau ditekan oleh kekuasaan.

Kasus besar yang menyangkut elite politik atau aparat sering mandek, dipeti-eskan, atau diselesaikan dengan negosiasi politik.

Ketidakadilan ini membuat publik kehilangan kepercayaan dan menjadikan kejahatan kekuasaan seolah tak tersentuh. Rezim kekuasaan kerap memanfaatkan media dan opini publik untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan struktural:

Skandal besar ditutupi dengan sensasi kecil (kasus viral, konflik horisontal, isu agama).

Update artikel kami di Google News dan WhatsApp Channel