Oleh: Fajrianto
TAHAPAN Pemilihan Umum 2024 belum sampai tuntas benar, namun beberapa tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak sudah mulai bergulir. Apabila tidak ada aral melintang, pemungutan suara Pilkada di 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia akan berlangsung pada 27 November 2024.
Salah satu isu krusial yang selalu mengemuka dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya adalah terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN). Sebagai Ilustrasi terdekat, sepanjang gelaran Pemilu 2024, masih mencuat soal dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) per 2 April 2024, menunjukkan bahwa terdapat 481 ASN yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas dengan sejumlah 264 ASN atau 54,9% terbukti melanggar.
Beberapa jenis pelanggaran netralitas ASN yang terjadi yaitu: Memberikan dukungan kepada salah satu calon secara terang-terangan baik di dunia nyata maupun dengan sarana media sosial; Menghadiri rangkaian kegiatan dan deklarasi yang diselenggarakan oleh paslon; Mempromosikan diri, mengajak rekan-kerabat untuk ikut serta datang, mendukung dan berkampanye untuk paslon tertentu; Menggunakan atribut paslon atau parpol dan atau berfoto bersama dengan paslon tertentu; dan memasang spanduk dan menggunakan atribut ASN untuk kepentingan parpol atau calon.
Jumlah tersebut berpotensi besar untuk terus bertambah pada rangkain penyelenggaraan Pilkada tahun 2024. Sebab hal demikian berkelindan dengan tingginya angka pengisian ASN-baru pada tahun 2024 yang oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menghitung kebutuhan pengisian ASN-baru mencapai 1,3 juta formasi untuk tahun 2024, baik untuk instansi pusat maupun daerah.
Disamping itu, mayoritas ASN di Indonesia juga bekerja pada instansi pemerintah daerah. Menurut Badan Kepegawaian Negara (BPN), pada 30 Juni 2023 ASN berjumlah 4.282.429. Dari angka tersebut, jumlah ASN aktif yang bekerja di Pemerintah Daerah sebesar 78%, sedangkan yang bekerja pada instansi Pemerintah Pusat berjumlah sebesar 22%.
Namira Elisyah Nasution (2023) dalam penelitiannya menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya pelanggaran netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pilkada antara lain yaitu lemahnya pengawasan oleh pihak yang berwenang, motif untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan, hubungan kekeluargaan dengan calon, kurangnya pemahaman regulasi tentang netralitas ASN, intervensi/tekanan dari pimpinan/atasan, kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral, ketidaknetralan ASN dianggap sebagai hal lumrah dan pemberian sanksi lemah.
Landasan Netralitas ASN dalam Pilkada
Keharuaan ASN untuk netral dalam penyelenggaraan Pimilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam UU tentang ASN diatur jelas mengenai kewajiban ASN, antara lain menjaga netralitas sebagaimana termuat pada UU 20/2023 pasal 21 ayat (1) huruf d. Netralitas dimaknai sebagai setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Bahkan jika merujuk pada ketentuan UU ASN yang lama (UU 5/2014), bukan hanya setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu; para istri/suami yang berstatus PNS pun dilarang menggunakan antribut yang mengandung unsur politik serta dilarang menggunakan fasilitas milik negara.
Aturan turunan di bawah undang-undang pun tak kurang-kurangnya menegaskan pentingnya netralitas ASN. Sebut saja Surat Keputusan Besar (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan, yang memuat larangan bagi ASN untuk melakukan hal-hal seperti memasang spanduk/baliho/alat peraga bakal calon peserta pemilu; sosialisasi/kampanye media; menghadiri deklarasi/kampanye bakal calon peserta pemilu; membuat posting, comment, share, like, follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu; mem-posting pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik; ataupun ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi bakal calon peserta pemilu.
Perihal sanksi pelanggaran netralitas juga sudah dimuatkan dalam banyak peraturan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS; Peraturan Pemerintah 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK; juga Peraturan Pemerintah 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Ancaman sanksi tersebut sebenarnya memadai (atau “menakutkan”) jika memang diterapkan dengan ketat terhadap ASN yang melanggar ketentuan.
Merujuk pada PP 94/2021 tentang Disiplin PNS dan PP 49/2018 tentang Manajemen PPPK, sanksi netralitas berupa pelanggaran disiplin tersebut berkonsekuensi terhadap hukuman disiplin sedang, berupa pemotongan tunjangan kinerja (tukin) sebesar 25 persen selama 6 bulan/9 bulan/12 bulan; dan hukuman disiplin berat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan jabatan selama 12 bulan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, sampai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Sementara merujuk pada PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sanksi netralitas berupa pelanggaran kode etik berkonsekuensi sanksi moral pernyataan secara terbuka dan sanksi moral pernyataan secara tertutup.
Mengawasi Netralitas ASN Pada Pilkada Kabupaten Banggai
Kabupaten Banggai menjadi salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Tengah yang juga akan mengikuti Pilkada Serentak pada 27 November mendatang. Sehingga, tidak menutup kemungkinan pelanggaran terhadap neralitas ASN berpotensi terjadi pula.
Sebagai pribumi, tentu kita tidak ingin Kabupaten Banggai dipimpin oleh sosok yang lahir dari proses pemilihan yang culas, salah satunya dengan memanfaatkan sumber daya ASN yang secara jelas dilarang oleh aturan yang berlaku. Sebab figur demikian rentan menjalankan rode kekuasaan dengan cara culas pula.
Atas dasar itu, penting untuk mengawal keberlangsungan penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Banggai yang bersih dari pelanggaran Netralitas ASN. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penguatan pengawasan masyarakat.
Hal demikian akan memperkecil ruang dan kesempatan bagi pegawai ASN untuk terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada.
Apabila terdapat ASN yang diduga kuat melanggar netralitas, maka masyarakat dapat melaporkan yang bersangkutan kepada pihak yang berwenang khususnya Bawaslu Daerah agar proses penegakan hukum dapat dilaksanakan. *
Penulis adalah Pribum Banggai
Asisten Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PASAK) FH Universitas Islam Malang
Discussion about this post